Kolom Agama di KTP, Pentingkah?

Contoh KTP Jerman. Simpel, tidak ada kolom agama. Sumber: Wikipedia.

Contoh KTP Jerman. Simpel, tidak ada kolom agama. Sumber: Wikipedia.

Author: Rinaldi

TERUS terang, KTP saya “Islam”. Tapi, saya tidak meyakini barang sedikit pun akidah Islam. Sejak beberapa tahun yang lalu, saya memutuskan untuk murtad. Saya mendeskripsikan posisi saya sekarang ini sebagai “pemikir bebas”.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas soal benar-salahnya akidah Islam. Cerita di atas hanya latar belakang saja. Wacana yang akan saya angkat adalah mengenai pentingnya mencantumkan kolom agama pada kartu identitas.

Secara de facto, saya jelas bukan muslim. Namun secara de jure jelas saya muslim, sebagaimana tertulis pada kolom agama di KTP maupun Kartu Keluarga.

Tulisan ini bermula dari pengalaman pribadi yang demikian. Saya berpikir: Kalau begitu, apa arti dan tujuan dari kolom agama pada kartu identitas? Siapapun bisa menulis “Islam”, “Kristen”, “Hindu”, dan seterusnya di kartu identitas semata demi formalitas, tanpa harus terbeban meyakini sedikit pun akidah agama yang bersangkutan, atau terbeban untuk melakukan ritual ibadah agama yang bersangkutan.

Saya tidak sendiri. Beberapa teman saya menganut agama yang berbeda dari yang mereka cantumkan di KTP. Ada yang ber-KTP Buddha, tapi dalam prakteknya Kristen dan telah menikah secara Kristen. Begitu pun ada yang ber-KTP Kristen (Protestan) ternyata Katolik, dan seterusnya. Belum termasuk teman-teman sesama pemikir bebas yang ber-KTP Islam, Kristen, atau agama-agama lain.

Saya hanya bersikap pragmatis dengan tetap mencantumkan “Islam” di KTP. Memangnya bisa mencantumkan “pemikir bebas” di KTP? Kalau pun bisa, apakah ada jaminan keselamatan dan jaminan tidak dipersulit kalau mengurus ini-itu? Yang ber-KTP Kristen saja yang notabene “agama resmi”, bisa dipersulit apalagi “pemikir bebas”. Oleh sebab itu, ketika ada selentingan wacana penghapusan kolom agama di KTP, tanpa ragu saya setuju.

Betul, saya setuju dengan usulan bahwa sebaiknya kolom agama di KTP dihapuskan. Kenapa? Ada banyak sekali alasan. Salah satunya adalah karena kepenganutan terhadap agama merupakan urusan pribadi yang tidak ada relevansinya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepenganutan terhadap agama tidak bisa diverifikasi keakuratannya.

Coba, bagaimana anda memverifikasi bahwa seseorang yang ber-KTP Kristen dan telah dibaptis, adalah benar-benar seorang yang percaya sepenuhnya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat? Saya pun rela dibaptis dan mengucapkan serangkaian syahadat iman Kristen untuk kepentingan –misalnya—pernikahan. So what? Pragmatis saja. Nothing to lose buat saya.

Kita harus rasional. Buat saya, kolom “golongan darah” di KTP jauh lebih penting daripada kolom agama. Ironisnya, ini justru seringkali terlihat kosong! Kalau anda “kenapa-kenapa” di jalan dan dilarikan ke rumah sakit, mana yang lebih menyelamatkan nyawa anda: Informasi golongan darah atau informasi agama?

Mereka yang pro-penulisan kolom agama di KTP antara lain berpendapat, bahwa “penulisan agama” bertujuan untuk mengetahui statistik para penganut agama. Ini kembali kepada persoalan fundamental di atas; Siapa yang bisa menjamin atau alat canggih apa yang bisa dipakai untuk memverifikasi bahwa agama yang tertera di KTP seseorang adalah sama dengan agama aktual yang diimani oleh si pemegang KTP? Selama tidak ada yang bisa menjamin keakuratan agama tertulis dan agama aktual, maka statistik yang dibangun berdasarkan data kepenganutan agama melalui KTP menjadi tidak valid. Apalagi ditambah batasan menuliskan agama yang dianut menjadi hanya sebatas enam agama resmi saja. Jadi, seumpama saya penganut agama yang berjudul “Wel geduwel bleh”, tentu tidak bisa dicantumkan di KTP. Dan kalau pun dibuat statistiknya, paling banter agama semacam itu masuk kategori “lain-lain”, ya kan? Statistik macam apa itu?

Alih-alih bermanfaat, adanya kolom agama di KTP malah bisa jadi petaka. Dalam kerusuhan SARA di Ambon, gara-gara kolom agama di KTP, nyawa seseorang bisa melayang. Dan yang tak kalah menjengkelkan adalah potensi diskriminasi dalam birokrasi di Indonesia, di mana umat agama minoritas cenderung bisa dipersulit dan diperas.

Masyarakat harus diberi pemahaman, bahwa menghapus kolom agama di KTP tidak sama dengan mengapus agama atau memberangus hak sipil untuk beragama. Bahwa sesungguhnya, penghapusan kolom agama di KTP adalah wujud netralitas negara terhadap agama, di mana negara mengakomodir semua jenis agama dan kepercayaan, termasuk mereka yang memutuskan untuk tidak menganut suatu agama apapun. Bahwa menganut agama atau tidak menganut agama, adalah urusan pribadi yang bersangkutan dan bukan bagian dari identitas resmi negara.

Bahwa pada dasarnya, tiap individu adalah bebas dan setara. Negara bertindak sebagai wasit yang melindungi hak sipil masyarakat baik untuk beragama maupun tidak beragama. Apa sih susahnya? Apa yang ditakutkan? []

Amerika Serikat: Antara Dibenci dan Dicinta

Author: Rinaldi

Hidayat Nur Wahid memimpin demonstrasi. Foto: Antara/ Ujang Zaelani

Hidayat Nur Wahid memimpin demonstrasi. Foto: Antara/ Ujang Zaelani

PASCA peristiwa runtuhnya menara kembar World Trade Center di New York pada 2001, Amerika Serikat menginvasi Afghanistan dan disusul Irak pada 2003. Saat itu, banyak masyarakat memprotes, khususnya umat Islam. Di Indonesia, berbagai elemen umat Islam ramai berdemo mengutuk AS. Mereka menuduh invasi AS ke Afghanistan dan Irak melanggar kedaulatan sebuah negara dan banyak menyebabkan korban sipil. Seruan “jihad” pun berkumandang.

Di mata AS, “Islam” adalah agama kekerasan, penuh teror dan kebencian. Berkaitan dengan itu, AS mengumandangkan perang melawan teroris-teroris yang kala itu teridentifikasi sebagai “muslim”.

Sebaliknya, sejak saat itu pula umat Islam memandang Amerika Serikat sebagai “setan besar”, “kafir laknat” dan musuh umat Islam. Amerika tukang ikut campur urusan negara lain, dajjal, berstandar ganda mengenai penegakan HAM, dan lain sebagainya. Pokoknya, Amerika Serikat dipandang sebagai benar-benar musuh Islam.

Dulu, Ahmadinejad vokal sekali menentang Amerika. Beliau terkenal dengan kalimatnya, “Amerika setan besar”. Muslim-muslim Indonesia banyak mengagumi Ahmadinejad yang dicitrakan sederhana. Foto-fotonya pakai kemeja sobek populer di jagat maya. Umat Islam Indonesia juga cenderung mendukung Hizbullah waktu berperang lawan Israel pada 2006.

Padahal, baik Ahmadinejad dan Hizbullah adalah Syiah, sekte Islam yang sekarang ramai disesat-sesatkan. Di Indonesia, topik kesesatan Syiah populer seiring peristiwa pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura. Dalam pandangan Sunni-fanatik, Syiah bukan Islam.

Sekarang, Amerika berencana menyerang Suriah, menyerang rezim Assad yang Syiah. Momen yang pas, di mana Sunni Indonesia sedang panas-panasnya terbakar dengan topik kesesatan Syiah. Kebijakan Amerika ini didukung oleh negara-negara Arab-Sunni, yang bahkan menawarkan bantuan jika Amerika mau menyerang Suriah. Tidak hanya negara-negara Arab, malah wasekjen PKS, partai Islam yang berpandangan konservatif, baru-baru ini juga menyatakan dukungannya atas serangan Amerika ke Suriah.

Alasan wasekjen PKS mendukung AS, adalah karena rezim Assad telah berlaku zalim dengan menggunakan senjata kimia dalam melawan oposisi. Sebuah alasan yang kurang lebih sama bobotnya dengan alasan AS waktu menyerang Afghanistan dan Irak beberapa tahun lalu.

Melihat dukungan negara-negara Arab dan wasekjen PKS terhadap invasi Amerika Serikat ke Suriah, saya menilai betapa munafiknya muslim-muslim macam mereka itu. Atas nama Islam, Amerika Serikat mereka kafir-kafirkan, mereka setan-setankan, mereka anggap “musuh Islam”, bahkan lantang terdengar seruan boykot produk-produk Amerika –yang tidak pernah kelihatan implementasinya itu. Tetapi demi urusan membantai Syiah, sebuah sekte Islam yang mereka benci, atas nama Islam pula mereka mendukung “setan besar” –meminjam istilahnya Ahmadinejad–  untuk melakukan agresi militer ke Suriah, yang tentu saja akan menimbulkan korban sipil/collateral damage seperti di Irak.

Dulu, ramai umat Islam menuduh Amerika Serikat melakukan standar ganda terkait kebijakannya terhadap timur tengah. Tanpa sadar, umat muslim pun kerap kali melakukan standar ganda. Omong-kosonglah kalau mereka bicara kemanusiaan. Mereka hanya membela kepentingan sektarian mereka sendiri. []

Miss World dan Kecemburuan Nilai

Author: Rinaldi

Islam dan modernitas. Ilustrasi/Dari berbagai sumber.

Islam dan modernitas. Ilustrasi/Dari berbagai sumber.

KENAPA muslim fanatik menentang Miss World? Ada banyak faktor. Salah satunya adalah faktor “kecemburuan nilai”.

Muslim fanatik itu cenderung konservatif dalam memandang perempuan, juga relasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam konsep mereka, perempuan harus menutup seluruh tubuhnya, dan sebagai konsekwensi, menjadi kurang menarik. Mereka juga berpandangan bahwa laki-laki tidak bisa mendekati atau menyentuh perempuan yang bukan muhrim sembarangan, meskipun cuma sentuhan wajar seperti salaman atau berpelukan. Batasan-batasan ini adalah salah satu prinsip dasar dalam keyakinan mereka.

Pada saat bersamaan, dalam hati kecilnya, mereka mengakui bahwa ‘modernitas’ itu menarik; penuh gaya, warna dan dinamis. Contohnya, pakaian perempuan modern lebih beraneka warna dan beragam, yang oleh karena itu lebih menarik. Perempuan mana yang tidak suka dandan? Laki-laki mana yang tidak suka melihat perempuan modis?

Tidak hanya pakaian, begitu juga tata pergaulan dalam peradaban modern. Saya tidak bicara “seks bebas”, “perzinahan”, “narkoba”, “mabuk-mabukan” atau apapun yang oleh muslim fanatik secara keliru sering diasosiasikan dengan “kemodernan”. Saya bicara tata pergaulan modern yang wajar. Di mana laki-laki dan perempuan bisa berkumpul dan bergaul bersama dengan wajar, equal, bersentuhan dengan wajar (salaman, pelukan, dsb). Hal itu sesuatu yang natural dalam bersosialisasi, tetapi “haram” dalam nilai-nilai Islam yang konservatif.

Di sinilah, pada muslim konservatif, terjadi ‘bentrok pikiran’. Melihat dinamika tata-nilai modern, mereka “pingin kayak begitu”, tapi tidak bisa, karena dibatasi oleh prinsip-prinsip dasar yang mereka yakini. Akhirnya timbul sikap “denial”, sikap menyatakan “tidak suka” terhadap kehidupan modern yang demikian untuk menutupi ketertarikan alamiah tersebut.

Sebenarnya mereka bukan tidak suka, tetapi iri. Mereka merasa “capek-capek” secara ketat mengamalkan ajaran agama, sementara orang-orang dengan enaknya menikmati hidup dengan bebas dan berwarna. Sekali lagi, mereka cuma iri.

Rasa iri tersebut terpendam, dan hanya “meluap” pada momentum-momentum tertentu. Misalnya ajang Miss World.

“Kecemburuan”, itu pangkalnya.

Sama seperti wong-wong cilik yang teriak-teriak anti kapitalisme. Pada dasarnya bukan soal kapitalisme itu baik apa buruk, tetapi kecemburuan sosial pada kaum “pemilik modal”. Andai wong- wong cilik yang menghujat kapitalisme itu kita kasih per-orang 100 juta, niscaya mereka bakalan diam, anteng. Mereka mulai buka usaha dengan modal yang diberikan, dan menjadi kaum “pemilik modal” yang sebelumnya mereka hujat.

Pada wong-wong cilik, mereka tidak anti terhadap kepemilikan modal. Mereka cuma tidak mampu menjadi pemilik modal. Pada muslim konservatif, mereka tidak anti terhadap tubuh perempuan. Mereka hanya tidak bisa melihat dan berhubungan dengan perempuan dengan bebas dan wajar, karena faktor larangan agama yang mereka yakini.

Kalau pada wong-wong cilik tersebut merupakan “kecemburuan sosial”, maka pada muslim konservatif adalah “kecemburuan nilai”.

Sementara kelompok muslim yang agak moderat, mampu mensintesakan antara modernitas dengan dogma agama. Maka, muncullah, sebagai contoh saja, aneka “jilbab gaul” yang modis dan menarik. Atas jilbab, bawah jeans ketat. Dengan wangi parfum, make-up dan aksesoris cantik, mereka bersosialisasi secara normal.

Saya tidak memandang sintesa tersebut secara positif. Saya justru memandangnya secara sinis. Fenomena “jilbab gaul” yang beraneka warna dan trendy, itu seperti anda memasang kloset duduk tetapi dalam pemakaiannya tetap jongkok.

Anda kepingin menaruh sesuatu yang dianggap modern, tetapi tidak bisa meninggalkan “tradisi lama”. Akhirnya wagu: Klosetnya duduk, beraknya jongkok. Gaul, akrab dengan gadget, aktif di jejaring sosial, mengenakan aksesoris trendy, wangi dan sexy, tapi masih berjilbab yang merupakan nilai-nilai agama yang konservatif.

Kelompok muslim/muslimah yang agak moderat seperti itu, biasanya tidak anti terhadap Miss World. Ini sisi positifnya. Karena mereka telah “melampiaskan” hasrat modernitasnya pada gaya berjilbab mereka, maka tingkat kecemburuannya terhadap modernitas kecil, bahkan tidak ada. []

Menimbang Urgensi Syariat Islam

Ribuan massa Hizbut Tahrir Indonesia berkumpul di Stadion Gelora Bung Karno pada hari Minggu, 2 Juni 2013 untuk menghadiri Muktamar Khilafah. Tampak halaman depan stadion dipenuhi sampah, padahal sudah banyak spanduk larangan membuang sampah sembarangan.

Ribuan massa Hizbut Tahrir Indonesia berkumpul di Stadion Gelora Bung Karno pada hari Minggu, 2 Juni 2013 untuk menghadiri Muktamar Khilafah. Tampak halaman depan stadion dipenuhi sampah, padahal sudah banyak spanduk larangan membuang sampah sembarangan.

Author: Rinaldi

SEPANJANG pengetahuan dan pengamatan saya, argumentasi populer yang mendasari wacana penerapan “Syariat Islam” sebagai aturan formal, kebanyakan bersifat ad populum; Karena suatu daerah mayoritas beragama Islam, maka semestinya hukum Islamlah yang diterapkan. Argumen tersebut kemudian ditopang dengan “argumentasi pamungkas”, yakni keimanan (yang tentu bersifat subjektif), “karena Syariat Islam adalah hukum Allah yang bersifat mutlak”.

Dengan membawa-bawa unsur “mayoritas” dan “keimanan”, sudah tentu landasan dasar penerapan Syariat Islam menjadi aturan formal menjadi tidak bersifat universal dan hanya bermotivasi kekelompokan.

Kalaupun ada “argumentasi rasional” yang bersifat komparasi antara “hukum Islam” dan “hukum sekuler” (baca: demokrasi), biasanya bukanlah komparasi yang adil dan sehat. Kebanyakan bersifat “strawman fallacy” atau “cherry picking”.

Metode pertama, “strawman fallacy”, demokrasi sengaja dibengkokkan pengertiannya dulu, baru dikritik/dicari celahnya. Sehingga demokrasi yang dikritik itu seringkali tidak merepresentasikan konsep demokrasi yang sesungguhnya.

Metode kedua, “cherry picking”, yakni memilih fakta-fakta tertentu dan menyusunnya untuk kemudian diajukan, serta kemudian melakukan penarikan kesimpulan dari situ. Karena fakta-fakta yang menjadi dasar sudah dipilih, maka tentu opini pembaca mudah terarah ke kubu tertentu. Dalam metode ini juga sering dilakukan komparasi yang tidak adil. Sebagai contoh, untuk demokrasi diajukan fakta penerapannya yang menyimpang, sementara untuk Syariat Islam diajukan konsep idealnya. Sehingga demokrasi akan tampak buruk dan Syariat Islam akan tampak menjadi “solusi”. Inilah yang saya sebut “ilusi propaganda”.

Kalau ada negara demokrasi yang korup misalnya, maka yang disalahkan adalah sistem demokrasinya, karena tidak mampu membimbing manusia pada kejujuran. Sementara kalau negara dengan sistem Islam korup, yang disalahkan adalah orang-orang yang menjalankankannya dengan tuduhan “tidak amanah” pada konstitusi dan sebagainya. Ini saja sudah menunjukkan sikap standar ganda.

Propaganda penerapan Syariat Islam sebagai aturan formal juga seringkali menjanjikan hal-hal yang sebenarnya umum saja; Keadilan, kesejahteraan, kemapanan ekonomi dan sebagainya. Hal-hal semacam itu sebenernya bukan keistimewaan dari Syariat Islam itu sendiri, tapi sudah menjadi standar kewajiban negara pada umumnya. Ibaratnya, pejabat yang jujur dan amanah itu bukan prestasi, tapi kewajiban. Jadi, para calon pejabat tidak perlu menjanjikan “kejujuran” dalam kampanyenya karena itu sesuatu hal yang memang sudah seharusnya ada tanpa dijanjikan.

Komunisme sekalipun, dalam propagandanya juga menawarkan keadilan, kesejahteraan dan kemapanan ekonomi. Bahkan Cina, negara Komunis, mampu bersikap tegas terhadap koruptor dengan hukuman mati. Kemudian juga banyak negara-negara maju dan mapan yang menerapkan demokrasi, berhasil memberikan keadilan, kesejahteraan dan kemapanan ekonomi pada rakyatnya. Jadi, Keadilan, kesejahteraan, dan kemapanan ekonomi, bukan monopoli sistem Islam.

Kemudian, analisis sosial serampangan juga seringkali dijadikan materi propaganda. Penerapan Syariat Islam dikatakan merupakan “obat” bagi segala penyakit sosial seperti seks bebas, judi, pornografi, homoseksualitas, “aliran sesat” dan seterusnya yang dipandang tidak bisa disembuhkan oleh selain sistem Islam.

Pertama-tama, definisi “penyakit sosial” tersebut di atas sebenarnya cenderung bias larangan dalam ajaran Islam. Para fanatik Syariat tampaknya belum bisa membedakan antara “dosa” dengan “kriminalitas”. Dalam pandangan mereka, semua yang dilarang Allah mesti dilarang juga oleh negara. Pandangan ini jelas bertentangan dengan asas-asas sekulerisme di mana ada pemisahan yang jelas antara “agama” dengan “negara”.

Salah satu asas dasar sekulerisme itu adalah, bahwa tidak semua yang dilarang Allah mesti dilarang juga oleh negara. Makan babi dilarang Allah, tapi negara tidak bisa ikut-ikutan melarang muslim makan babi. Begitupun dengan perzinahan, homoseksualitas, “aliran sesat” dan lain sebagainya. Tidak semua perbuatan dosa tersebut bisa dianggap perbuatan kriminal yang bisa dijerat dengan hukum positif.

Lain halnya dengan membunuh, mencuri, menipu, dan sebagainya. Hal-hal tersebut selain berdosa, juga bisa dikriminalkan karena ada implikasi merugikan orang lain.

Dari hal-hal terurai di atas, sebenernya bisa disimpulkan secara sederhana, bahwa “Syariat Islam” itu tidak punya landasan rasional dan tidak punya urgensi apa-apa untuk diterapkan sebagai hukum positif, kecuali sekedar menuruti hasrat keimanan semata-mata.

Kenapa Syariat Islam harus diterapkan sebagai hukum positif? Jawaban pokoknya tidak akan jauh dari: “Karena mayoritas orang Indonesia beragama Islam” atau “karena itu hukum Allah yang mutlak”. Pola jawaban semacam itu jelas bukan jawaban yang rasional.

Dan lagipula, problem pokok di NKRI itu sebenernya bukan bagaimana bentuk hukumnya, tapi bagaimana konstitusi/hukum itu ditegakkan. Ini adalah dua hal yang berbeda. Dan salah satu ciri negara yang maju dan mapan itu adalah di mana hukum positifnya ditegakkan dengan baik. []

Indonesia, Agama, dan Kemunafikan

Anis Matta, Presiden PKS yang baru. Sekedar ilustrasi.

Anis Matta, Presiden PKS yang baru. Sekedar ilustrasi.

Author: Rinaldi

SAYA ketawa ngakak dengar berita Kepala Polisi Syariah di Aceh tertangkap tangan mabuk ganja. Mobilnya oleng menabrak pagar warga. Di dalam mobilnya, polisi menemukan satu linting ganja. Tes urine menyatakan, Zulkarnain, nama Kepala Polisi Syariah itu, positif mengkonsumsi narkoba.

Fakta ini semestinya merupakan pukulan telak bagi kelompok-kelompok kanan yang kerap kali mempropagandakan syariat Islam sebagai solusi atas segala problematika moral. Bahwa ternyata, syariat Islam sama saja seperti “sistem sekuler” yang kerap kali mereka hujat-hujat.

Tidak hanya itu. Di Aceh yang serba syariat, sampai akhir 2012 masih banyak kasus korupsi yang mengambang. Sungguh syariat Islam tidak menjamin apapun.

Konsep moral apa yang ada di dalam benak penyokong syariat Islam, sementara mereka sibuk mengurusi cara duduk perempuan di sepeda motor, tetapi Kepala Polisi Syariahnya malah tertangkap tangan mabuk ganja?

Saya sudah menduga kuat, bahwa pembelaan diri yang akan dilancarkan kelompok kanan adalah bahwa itu sekedar oknum, bukan salah sistemnya. Oknumnya harus dihukum, sementara sistemnya tetap dapat bisa berjalan.

Bisa dibenarkan bahwa itu adalah kelakuan oknum dan tidak merepresentasikan syariat Islam. Tetapi sayangnya, dalam hal ini kelompok kanan penyokong syariat senang berstandar ganda.

Jika sistem non-syariat gagal membangun moral warga, maka sistemnya yang biasanya disalahkan. Tapi ketika syariat Islam juga mengalami kegagalan dalam membangun moral warganya, maka “oknum” yang disalahkan. Ini sebuah cara pandang yang inkonsisten, standar ganda.

****

 “Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti”.  Kompas

“Ketua Gema MKGR, Fahd El Fouz, menjadikan My Place yang merupakan tempat SPA di bilangan Jakarta untuk membahas mengenai pengadaan Al Quran dan laboratorium komputer MTS di Kementerian Agama RI”.  – Rakyat Merdeka

SEJAK berakhirnya era orde baru, saya melihat ada kecenderungan trend untuk melibatkan agama dalam ranah publik, yang antara lain dalam bentuk penerapan perda-perda bercorak agama.

Ada semacam hasrat untuk menciptakan kesan bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi agama, terutama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk.

Konyolnya, banyak aturan bercorak agama itu tidak relevan dengan fungsi dan kebutuhan praktis. Misalkan kebijakan Bupati Mamuju yang mewajibkan setiap PNS bisa baca Alquran. Apa urgensinya bisa baca Alquran bagi PNS? Apakah “bisa baca Alquran” akan menjamin moral para PNS?

Contoh kebijakan Bupati Mamuju tersebut, merupakan satu dari sekian banyak kasus di mana aturan bercorak agama dilibatkan di ranah publik tanpa ada urgensi apa-apa terkait pada pekerjaan sebagai PNS. Kebijakan tersebut tampak sekedar menunjukkan semangat beragama yang dangkal.

Dengan kebijakan demikian, pada akhirnya, para calon PNS akan mempersiapkan diri agar bisa membaca Alquran dengan baik. Bukan karena faktor religiusitas, tapi semata-mata agar memenuhi kualifikasi jadi PNS. Dan lama-lama, orang taat agama bukan karena Tuhan, tapi sekedar tergerak oleh motivasi-motivasi duniawi. Inilah yang saya sebut “sekularisasi agama”.

Berbagai upaya pencitraan tersebut pada akhirnya tidak menunjukkan apa-apa. Toh Indonesia masih masuk dalam peringkat teratas soal korupsi. Bahkan korupsi di kementrian agama malah termasuk yang terbesar. Belum lagi partai politik yang selama ini dikenal agamis, bersih dan peduli, pada akhirnya terjerat kasus korupsi juga. Tidak tanggung-tanggung, melibatkan presidennya langsung. Lucu memang. Indonesia pada akhirnya cuma tampak sebagai negara munafik dan penuh pencitraan. []

Opini Kritis Terhadap Agama: Penistaan atau Kebebasan Berpendapat?

Author: Rinaldi

Demonstrasi menentang UU Penodaan Agama. Foto: AFP. Sumber gambar: http://dawn.com/2012/09/19/timeline-accused-under-the-blasphemy-law/

Demonstrasi menentang UU Penodaan Agama. Foto: AFP. Sumber gambar: http://dawn.com/2012/09/19/timeline-accused-under-the-blasphemy-law/

TIGA hal yang sering -atau tepatnya sengaja- dirancukan oleh kelompok Islam fundamentalis itu adalah: 1. Kebebasan berbicara 2. Penistaan agama dan 3. kritik terhadap agama. Tulisan di bawah ini, secara khusus memang menyoroti tingkah-polah kelompok Islam fundamentalis berdasarkan berbagai peristiwa yang tengah hangat belakangan. Namun maksud luasnya adalah menyoroti fundamentalisme pada umumnya, yang bisa terjadi pada umat beragama manapun.

Secara “normatif”, kelompok Islam fundamentalis tampak mendukung kebebasan berbicara sebagai bagian dari hak azasi yang dijamin oleh undang-undang. Tetapi ketika bertemu dengan opini kritis terhadap umat Islam, atau -yang ini lebih sensitif- teologi Islam, mereka akan membiaskan kasus tersebut ke arah “penistaan agama”. Dan, ketika tuduhannya ” penistaan agama “, mereka merasa berhak untuk membungkam, mengintimidasi atau menuntut si pelaku kritik ke ranah hukum.

Curangnya, standar ini sepertinya tidak berlaku untuk diri mereka sendiri. Mereka tampak begitu bebas berbicara, bahkan mengkritik atau menyinggung agama lain. Sebagai contoh, kita bisa lihat betapa banyak buku-buku Islam yang dijual di toko buku umum yang jelas-jelas mengkritik agama Kristen. Tetapi sebaliknya, adakah buku-buku Kristen atau agama lain yang secara keras mengkritik teologi Islam? Kalau tidak bisa dikatakan tidak ada, jarang sekali. Kalaupun ada, itu tidak dijual di toko buku umum dan biasanya untuk kalangan sendiri. Dari sini saja sebenarnya sudah kelihatan permasalahannya: Kecurangan arus informasi. Kelompok mayoritas (baca: Islam) tampak bebas dan leluasa melakukan propaganda. Sementara kelompok yang berseberangan dengan Islam, dibatasi.

Apa sebenarnya yang dimaksud penistaan terhadap agama? Ini sesuatu yang dapat dengan mudah dibiaskan, karena tidak ada ukuran dan batasan yang jelas dengan yang disebut “kebebasan berpendapat” (DUHAM pasal 19). Misalkan, ada seorang penulis buku yang mengatakan “Muhammad bukan nabi”. Apakah pernyataan tersebut termasuk penistaan agama, atau bagian dari kebebasan berpendapat? Kalau pernyataan itu dianggap penistaan terhadap agama, apakah itu berarti semua orang “dipaksa” untuk mengakui kenabian Muhammad, sehingga sangat dilarang untuk mengatakan sebaliknya? Mengikuti alur logika demikian, bagaimana dengan Alquran yang mengatakan bahwa Isa Almasih bukan tuhan, apakah Alquran telah melakukan penistaan terhadap teologi Kristen?

Ada contoh kasus. Pada tahun 2003, MUI melarang peredaran salah satu edisi Majalah Newsweek. Alasannya, Majalah Newsweek pada edisi tersebut, menampilkan artikel yang mengangkat tesisnya Christoph Luxenberg, seorang ahli filologi, yang mengatakan bahwa Alquran pada mulanya ditulis dalam bahasa Aramaik, bukan Arab. Yang lucu, MUI menuduh Majalah Newsweek dan Christoph Luxenberg melakukan “penistaan agama”. Di sini, kita bisa melihat kesewenangan kelompok agamawan konservatif yang direpresentasikan oleh MUI. Mereka bisa mencap sebuah tesis ilmiah sebagai “penistaan agama” hanya karena tesis tersebut menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan arus utama.

Jadi, apa itu “penistaan agama?” Apakah opini kritis terhadap agama, atau pandangan terhadap agama yang bertentangan dengan arus utama terkategori sebagai “penistaan agama?”

Tampaknya, berbagai cara digunakan oleh kelompok konservatif agama, untuk membungkam apapun opini kritis terhadap agama. Agama bagaikan “barang pecah belah” yang mudah rusak, sehingga harus dijaga supremasinya setengah mati.

Selain membiaskan masalah “kebebasan berpendapat” menjadi “penistaan agama”, pembungkaman terhadap opini kritis atas agama juga dilakukan dengan mengatakan si pelontar kritik keliru dalam memahami agama yang dikritiknya. Sehingga dengan demikian, ada alasan untuk membungkam opini kritisnya. Kemungkinan keliru ini tidak perlu disanggah, karena manusia pada dasarnya bisa saja keliru. Tetapi, kekeliruan dalam memahami objek kritik sama sekali bukan alasan untuk melakukan pembungkaman terhadap kritisisme atas agama.

Setiap orang bisa saja mengatakan bahwa Ibukota Jawa Barat adalah Semarang. Tentu saja pernyataan tersebut keliru. Tapi kelirunya pernyataan tersebut, bukan alasan untuk mengkriminalisasikan si pembuat pernyataan. Hal yang paling cerdas adalah memberi koreksi atas pernyataan tersebut.

****

BEBERAPA waktu lalu, sebuah acara peluncuran dan diskusi buku karya penulis Irshad Manji, dibubarkan ormas Islam. Alasan mereka klise, penuh prasangka dan terkesan serampangan: Buku yang dibahas tersebut berisi kesesatan dan tuduhan “kampanye lesbianisme”. Tuduhan tersebut jelas sepihak, penuh prasangka dan sangat mudah dibantah. Pertama, “sesat” itu, dalam konteks ini, bersifat relatif. Kedua, “kampanye lesbianisme” adalah tuduhan yang mengada-ada. Sejak kapan lesbian menjadi isme? Lesbian adalah perilaku atau kondisi seseorang yang terkait dengan orientasi seksualnya. Sedangkan isme merupakan “susunan ide” yang membentuk sebuah “pandangan dunia”. Jadi, “lesbian” bukan semacam ideologi yang bisa dianut.

Kemudian, coba dipikirkan: Apa yang salah dengan Irshad Manji? Bahwa dia kritis terhadap Islam, ya. Lantas, salahkah Irshad Manji kritis terhadap Islam? Seharusnya tidak. Toh banyak pemuka Islam kritis terhadap agama lain, dan mereka tampak bebas saja mengemukakan pendapatnya.

Okelah, kita terima saja pendapat yang mengatakan bahwa pemahaman Irshad Manji terhadap Islam itu dangkal dan distortif. Tetapi, apakah kondisi yang demikian itu membuat Irshad atau seseorang manapun kehilangan haknya berpendapat? Seharusnya tidak. “Hak berpendapat” dengan “kualitas pendapat” itu adalah dua hal yang berbeda.

Jika dipikir-pikir, bukankah banyak juga pemuka Islam yang mengkritik agama lain baik melalui buku maupun ceramah, secara simplistis, dangkal dan distortif, biasanya dengan metoda “cherry picking”, sekedar untuk menggiring opini jemaahnya ke arah yang diinginkannya? Sudah tidak terhitung. Curangnya, kalau itu dilakukan oleh pemuka Islam terhadap agama lain, publik relatif menerima dan dianggap “dakwah”. Tetapi kalau sebaliknya, ada pemuka agama lain melakukan itu terhadap Islam, publik meradang. Pasti tuduhannya “penistaan agama”, “fitnah”, dan sebagainya.

Ambil contoh, “mantan biarawati” Irena Handono. Coba lihat, bagaimana dia menjelek-jelekkan kekristenan dan gereja. Umat Muslim biasanya senang dengar yang begitu dan kasih applause tanpa mikir, apakah “informasi” yang disampaikan “mantan biarawati” itu benar, atau sudah didistorsikan untuk kepentingan propaganda? Nah, yang menarik, bagaimana jika terjadi sebaliknya:Ada murtadin yang vokal terhadap Islam, ceramah dan kasih kesaksian di mana-mana bahwa Islam itu begini dan begitu, dan seterusnya. Wah, pasti sudah diserbu massa. []

Demokrasi Yang Sering Disalahpahami

Author: Rinaldi

Demonstrasi, bagian dari kebebasan berekspresi dalam negara yang demokratis.

DEMOKRASI menjadi kata yang populer di telinga banyak orang dewasa ini. Terkhusus di Indonesia pada penghujung abad 20, kata “demokrasi” begitu nyaring bergaung seiring tumbangnya rezim Soeharto dan semangat reformasi 1998.

Demokrasi tidak hanya ramai dibicarakan di kalangan pendukungnya saja, tapi juga ramai digaungkan para penentangnya. Mereka yang menentang demokrasi, umumnya adalah kelompok ekstrim kanan yang di Indonesia marak bermunculan seiring dengan tumbangnya rezim Soeharto.

Dalam pendapat populer, demokrasi kerap kali diidentikkan dengan “suara/kehendak mayoritas”. Dari persoalan pemilihan ketua kelas dalam sebuah sekolah menengah, sampai pemilihan ketua DKM pada masjid di kampung-kampung, sudah bergaya pilkada dengan metode pemungutan suara. “Demokrasi” katanya.

Istilah “pemungutan suara” menjadi begitu populer seiring dengan popularitas kata “demokrasi”. Demokrasi pun identik dengan pemungutan suara dan “kehendak mayoritas”. Ini pula yang kemudian dipahami dan ditentang oleh para pengkritik demokrasi. “Pemungutan suara”,  pendapat mereka, hanya akan menghasilkan keputusan berbasis kuantitas, bukan kualitas. Ada benarnya kritikan itu.

Tapi, apakah sesungguhnya demokrasi itu? Benarkah demokrasi itu semata-mata sekedar “suara mayoritas?” Ini yang perlu dicermati ulang. Karena, di samping istilah “demokrasi” kita mengenal ada majoritarianism dan mobokrasi. Keduanya jelas bukan demokrasi yang kita idealkan, tapi suatu bentuk “ketergelinciran” dalam demokrasi.

Kehendak mayoritas?

Jika anda berkeyakinan bahwa demokrasi semata-mata kehendak mayoritas, maka bersiaplah untuk menerima kenyataan jika ada negara “demokratis” yang melegalkan perbudakan atau pembantaian etnik minoritas, atas nama “kehendak mayoritas”. Baiklah ilustrasi berikut ini menjadi bahan perenungan.

Sebuah negara kecil yang “demokratis”, dihuni oleh seribu orang. Sembilan ratus warganya, adalah etnik A. Sedangkan sisanya, seratus orang, adalah etnik B.

Etnik A dalam negara itu, dikenal memiliki solidaritas keetnisan yang begitu kuat, sampai pada akhirnya mereka berpikir untuk mengenyahkan warga minoritas etnik B demi memurnikan negara mereka. Tentu, niatan ini ditolak oleh warga minoritas dari etnik B. Terjadilah silang pandangan, dan akhirnya diputuskan untuk melakukan semacam “referendum nasional” yang isinya adalah memutuskan dengan tegas, apakah etnik B diperbolehkan tinggal di negara tersebut, atau harus hengkang jika tidak mau dibantai habis?

Karena etnik A adalah mayoritas, dengan kekuatan sembilan ratus suara, maka bisa dipastikan bahwa keputusan akan berpihak pada mayoritas, berdasarkan metoda voting.

Etnik B harus terima kenyataan pahit, bahwa mereka harus hengkang dari negara itu atau rela dibantai oleh warga etnik A, sebagai wujud dari “kehendak mayoritas”.

Manusiawikah keputusan itu? Jelas tidak. Demokratiskah keputusan itu? Jika anda meyakini bahwa demokrasi semata-mata “kehendak mayoritas”, maka jawabannya adalah sangat demokratis. Tapi, apakah betul demokrasi semata-mata kehendak mayoritas? Jelas tidak, dan inilah pokok bahasan yang hendak diketengahkan.

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa demokrasi memandang manusia per-individu, bukan per-kelompok

Dalam worldview tradisional yang bersifat primordialistik, manusia dipandang dalam penekanannya sebagai bagian dari suatu kelompok primordial tertentu ketimbang sebagai individu.

Dalam pandangan yang semacam itu, seorang individu nyaris tidak memiliki kedaulatan. Karena sebagian dari dirinya, harus direlakan menjadi milik kelompok. Keanggotaan terhadap kelompok itu pun, didapatkan karena kelahiran dan bukan pilihan bebas. Ia nyaris tidak memiliki kebebasan individu, kecuali hanya sedikit saja.

Karena penekanan worldview ini adalah pada kelompok, maka cenderung tidak ada kesetaraan derajat asasi. Seseorang atau sebagian kelas masyarakat boleh jadi memiliki derajat asasi yang lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan.

Dalam masyarakat Jogja misalnya, seseorang secara otomatis didaulat menjadi Gubernur (baca: pemimpin) berdasarkan faktor keturunan. Begitu pun dalam masyarakat tradisional Hindu, terdapat kasta-kasta. Berbagai pembedaan kelas masyarakat itu tidak diperoleh karena semata-mata ability atau prestasi yang dicapai melalui usaha tertentu, tapi pada dasarnya sudah “given” –by birth.

Jadi, jangan tanya apakah warga Jogja non-Jawa memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur, sedangkan orang Jawa sendiri tidak memiliki kesempatan itu jika bukan keturunan darah biru.

Varian lain dari worldview yang bersifat kekelompokan adalah pada konsep masyarakat yang teokratis. Dalam konsep ini, “kesamaan iman” menjadi hal penting untuk mengikat masyarakat. Manusia lagi-lagi dipandang secara per-kelompok, bukan per-individu. Thus, mereka yang kebetulan berbeda agama atau mahzab, otomatis dipandang sebagai “masyarakat kelas dua”. Contoh masyarakat dengan konsep teokratis adalah pada Daulah Khilafah Islamiyah.

Pandangan yang terurai di atas jelas berbeda dengan pandangan dalam demokrasi, di mana manusia secara mendasar dipandang dalam penekanannya sebagai individu, bukan bagian dari kelompok primordial apapun.

Dalam penekanannya sebagai makhluk individu, seorang manusia memiliki kedaulatan dan kebebasan. Kedaulatan dan kebebasan ini adalah point penting dalam nilai-nilai demokrasi. Dalam kerangka kedaulatan dan kebebasan ini, seorang individu kemudian dapat memutuskan untuk “bersosialisasi”, bertemu dan berkumpul dengan individu-individu lain, yang –tentu saja- mereka semua memiliki kedalutan dan kebebasan yang sama. Di sinilah, awal munculnya konsep kesetaraan derajat manusia.

Kesetaraan derajat, adalah asas fundamental dalam demokrasi

Dalam kerangka kesetaraan derajat dan kebebasan, seorang individu tidak bisa dipaksa untuk memasuki suatu perserikatan. Sebaliknya, ia juga tidak dipaksa untuk tetap berada dalam suatu perserikatan. Seorang individu memiliki kedaulatan dan kebebasan untuk memutuskan, apakah ia akan bergabung dengan suatu perserikatan atau tidak; apakah ia akan tetap berada dalam suatu perserikatan, atau mengundurkan diri.

Pola hubungan sosial dalam masyarakat modern yang demokratis dan egaliter, adalah pola hubungan sosial yang dibangun dan didasari oleh asas guna, ketimbang faktor ikatan primordial atau kesamaan teologi. Dalam kerangka hubungan sosial yang demikian, maka ability dan prestasi memiliki nilai yang amat besar. Setiap individu terlahir setara, dan oleh karena itu memiliki hak dan kebebasan yang sama untuk memperoleh sejumlah ability dan prestasi tertentu, sehingga ia memiliki “daya tawar” yang baik dalam masyarakatnya.

Nilai-nilai semacam itu tidak ada dalam masyarakat primitif yang primodrialistik, seperti dalam sistem kesultanan Jogja, masyarakat berbasis kasta dalam Hinduisme, atau dalam konsep negara teokrasi semacam Khilafah Islamiyah. Sepandai-pandainya anda memiliki prestasi di bidang kepemimpinan dan ketata-negaraan, anda mustahil menjadi orang nomor satu di suatu negeri,  jika anda bukan keturunan darah biru atau bukan “penganut agama tertentu”.

Kemudian, untuk menjamin hak, kebebasan dan kedaulatan yang dimiliki oleh tiap individu tersebut, maka dibuatlah sebuah institusi pemerintahan dengan tujuan menjadi “wasit” yang mengatur dan menengahi hubungan antar-individu. Sejumlah tata hukum dibuat dan ditegakkan, sehingga peradaban dapat berjalan dengan tertib dan lancar. Semua idealisme tersebut sesungguhnya telah terangkum dalam tiga kata yang populer dalam revolusi Perancis; kesetaraan derajat, persaudaraan, dan kebebasan.

Demokrasi: Kesetaraan derajat, musyawarah, dan dialektika

Boleh dikatakan, bahwa demokrasi memerlukan basis masyarakat yang cerdas dan individualistik agar dapat teraplikasi dengan baik. Adanya kesenjangan intelektual antar-warga, ditambah corak pandangan yang primordialistik dan berbasis kelompok, dapat membuat demokrasi seringkali tidak bisa terlaksana dengan baik.

Jika kita amati penerapan demokrasi di Indonesia, sekurangnya dua faktor tersebut merupakan kendala utama. Dua faktor tersebut juga seringkali mengaburkan makna dari kesetaraan derajat dan menghambat jalannya musyawarah yang cerdas dan dialektis. Demokrasi yang dibangun di atas basis masyarakat demikian, hanya akan berpotensi menjadi majoritarianismatau mobokrasi.

Majoritarianism sangat berpotensi menindas atau menomorduakan kelompok minoritas. Sedangkan mobokrasi dapat memunculkan aksi-aksi massa yang vandalistis, intimidatif dan seenaknya sendiri. Masih hangat di benak kita, bagaimana segerombolan massa pendukung Sri Sultan berkumpul di depan gedung DPRD DIY di Malioboro, untuk “mengintimidasi” Sidang Istimewa DPRD DIY yang membahas soal penetapan Gubernur Jogjakarta. Hasil sidang pun akhirnya memutuskan bahwa Gubernur DIY ditetapkan, bukan dipilih. Keputusan tersebut dapat diragukan kemurniannya, karena adanya faktor “intimidasi” dari para pendukung Sri Sultan yang –dalam kasus ini—melibatkan unsur-unsur primordialisme kejawaan. Sulit memang, kalau demokrasi dibangun di atas masyarakat yang berbasis kelompok dan primordialistik.

Musyawarah adalah sebuah “forum pertemuan” di mana individu-individu berkumpul untuk mendiskusikan suatu masalah serta mencari jalan keluarnya. Jelas, dalam forum semacam itu dibutuhkan intelektualitas; kemampuan berargumentasi dan berdialektika, bukan kekuatan otot atau semangat primordialisme.

Jika dalam suatu forum musyawarah dihadiri oleh sepuluh individu yang setara, maka pertama-tama akan ada sepuluh pendapat. Sepuluh pendapat tersebut akan bersaing dan diuji dengan perdebatan. Hanya pendapat-pendapat yang baik dan rasional yang akan mampu bertahan. Pendapat-pendapat yang kurang baik dan lemah, akan ditinggalkan atau bersintesa dengan pendapat-pendapat lainnya.

Jelas, sampai di sini saja dibutuhkan nalar sehat dan jiwa sportif. Karena pendapat-pendapat unggul, adalah pendapat-pendapat yang rasional dan teruji dalam perdebatan. Bukan pendapat yang diteriakkan oleh mayoritas, bukan pendapat yang berbasis primordialisme, bukan pula pendapat yang dilontarkan dengan intimidasi dan ancaman. Mampukah bangsa Indonesia sampai pada level peradaban seperti itu?

Dalam demokrasi, ”suara mayoritas” hanya berlaku dalam konteks voting. Sementara voting itu sendiri bukanlah nafas utama dalam demokrasi, melainkan hanyalah aksi darurat ketika musyawarah tidak kunjung menghasilkan keputusan, atau karena satu dan lain hal sehingga musyawarah tidak bisa dilaksanakan. Dalam musyawarah, keputusan bisa sulit ditetapkan dikarenakan pendapat-pendapat yang bersaing dalam forum tersebut sama kuat dan sama-sama telah teruji.

Voting memang perkara kuantitas, bukan kualitas. Oleh sebab itu, tidak sembarang hal bisa di-vote, melainkan hanya hal-hal tertentu yang telah melalui proses uji dan dialektika yang layak untuk di-vote.

Demikian pula dalam pemilihan kepala negara. Voting saja hanya akan menghasilkan keputusan yang berbasis kuantitas, bukan kualitas. Untuk mengimbanginya, diperlukan seleksi kualifikasi yang ketat untuk para calon kepala negara, sebelum memasuki babak pemilihan.

Setelah terpilih pun, diimbangi pula dengan adanya kebebasan pers sehingga jalannya pemerintahan kelak transparan, senantiasa terkontrol oleh publik, dan tidak bebas kritik. []

Moralitas dan Agama

Oleh Rinaldi

“The greatest tragedy in mankind’s entire history may be the hijacking of morality by religion.” –Arthur C Clarke

Ilustrasi. Gambar: google.com

DI SAAT sekelompok orang di Indonesia bersemangat dengan ide “agamaisasi negara” dengan asumsi bahwa hanya dengan cara itu segenap problematika moral akan bisa disembuhkan, pemerintah Swedia malah “mengharamkan” pelajaran agama di sekolah.

Alasannya, agama dipandang cenderung membawa manusia ke dalam perpecahan dan konflik. Juga, klaim-klaim divinitas agama bukanlah klaim ilmiah yang terbukti secara positif, sehingga mengajarkannya dipandang tidak mendidik.

Beberapa point menarik yang bisa kita ambil dari kebijakan pemerintah Swedia tersebut adalah, apakah jadinya masyarakat tanpa pendidikan agama? Atau jika persoalannya dibalik, apakah manfaatnya memberi pendidikan agama pada anak-anak di sekolah?

Pertanyaan selanjutnya yang muncul, apakah masyarakat tanpa pendidikan agama akan menjadi “kurang bermoral?” Atau, apakah pendidikan agama dapat menjadikan masyarakat “lebih bermoral?” Apa itu moralitas? Bahwa dalam ajaran agama terkandung moralitas, benar. Tetapi, apakah agama adalah satu-satunya sumber moral?

Tentang moral

Secara etimologis, arti moral terkait wacana ini berasal dari istilah Perancis, morale, yang artinya adalah “suatu perilaku yang baik”, –a good conduct. Dari bahasa latin moralis, yang berarti “proper behavior of a person in society”, atau “tingkah laku yang pantas  dalam hidup bermasyarakat”.

Moralitas berbeda dengan etika. Menurut Berten (Etika, 1997), moral adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk yang menjadi pedoman dari tindakan etik. Berbeda dengan etika yang berarti tata susila atau tata tindakan yang mengandung nilai-nilai moral. Bisa disimpulkan, bahwa moralitas, selain berbeda, lebih bersifat mendasar dari etika.

Selanjutnya, beberapa filsuf seperti David Hume, Imannuel Kant dan Jean-Paul Sartre memiliki perbedaan konsep mengenai moralitas.

Singkatnya saja, menurut Hume, moralitas adalah seperangkat tata nilai yang didasari dari fakta-fakta dan pengalaman empiris. Pengalaman itulah yang membentuk pengetahuan dan kecenderungan pada kita untuk dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan moral saat kita harus berbuat sesuatu. Tidak ada nilai-nilai mutlak di luar yang empiris tersebut.

Jadi mengikuti gagasan Hume, jika setelah seseorang membunuh maka ia menjadi dibenci oleh masyarakat, dikejar-kejar, bahkan menjadi terancam nyawanya dan hidup tidak tenang, maka bisa disimpulkan bahwa membunuh adalah perbuatan yang tak bermoral, tak disukai masyarakat, dan sebaiknya tidak dilakukan.

Kant berbeda. Menurut Kant, moralitas harus lepas dari pengalaman-pengalaman empirik seperti tersebut di atas. Moralitas semata harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan dari suatu “nilai” yang mutlak.  Artinya, tindakan seseorang yang bisa diterima sebagai bernilai moral adalah tindakan yang didasarkan atas nilai-nilai yang mutlak, yang lepas dari pengaruh-pengaruh kebiasaan, adat-adat dan kecenderungan.

Mengikuti gagasan Kant, apakah membunuh itu tindakan baik atau buruk, tidak mengacu pada pengalaman-pengalaman empirik sebagaimana digagas Hume. Melainkan sudah “terpatri” pada suatu “nilai mutlak” yang divine dan  abadi. Pendapat Kant selaras dengan pendapat kaum agamis pada umumnya, di mana mereka percaya bahwa hanya Tuhan sebagai sumber moralitas yang mutlak. Baik-buruknya suatu perbuatan, Tuhanlah yang menentukan melalui wahyu-Nya (kitab suci).

Lain dengan Sartre. Moralitas menurutnya, selain harus lepas dari pengalaman-pengalaman empirik, juga harus lepas dari “nilai-nilai mutlak” sebagaimana digagas Kant. Menurut Sartre, suatu tindakan atau keputusan dipandang memiliki nilai moral apabila dilakukan dalam suatu kehendak yang bebas dan tidak dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar dirinya; seperti adat-tradisi, agama, atau apapun. Dalam gagasan ini, apabila seseorang berbuat baik semata karena tekanan atau tuntutan adat, tradisi, atau ajaran agama, maka ia tak bisa dikatakan telah berbuat baik/bermoral.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, bisa dikatakan bahwa secara umum, seseorang dapat dikatakan bermoral jika ia berperilaku baik di masyarakat; taat pada aturan, etis, dalam arti berperilaku selaras dengan lingkungan masyarakat.

Moralitas dan agama

“Dari sisi ini kita melihat, bahwa manusia tanpa agama sama saja dengan makhluk yang bukan manusia. Perikehidupan tanpa bimbingan agama, artinya sama dengan peri kehidupan tidak berperikemanusiaan”.  – H. Mas’oed Abidin, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Sumbar

Doktrinasi agama di masyarakat kita cenderung mengajarkan bahwa agama adalah satu-satunya sumber moral, satu-satunya sumber baik dan buruk. Dikatakan dalam suatu kajian keagamaan, bahwa agama tertentu diklaim sedemikian “lengkap”, mengatur manusia dari A sampai Z. Sehingga bisa diasumsikan, jika seseorang tidak beragama, maka orang tersebut tidak mengenal moralitas; bejat, liar, dan akan bertindak sesuai hawa nafsunya.

Moralitas dalam agama juga dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, divine, dan suci. Dalam pandangan yang demikian, moralitas adalah sesuatu yang “ditempelkan” ke dalam kehidupan manusia melalui wahyu agama, dan bukan sesuatu yang bersifat naluriah. Ini selaras dengan gagasan moral Kant. Bahwa manusia, dalam pandangan ini, tidak memiliki “kehendak bebas” untuk memiliki penilaian atas suatu perbuatan. Segala pengalaman empirik, juga adat-tradisi pun tak bisa menjadi landasan dalam menentukan baik atau buruk. Semua mengacu pada suatu “nilai mutlak”, yaitu wahyu Tuhan.

Dengan doktrinasi yang demikian, wajar jika masyarakat agamis berpikir bahwa tanpa agama maka tak ada moralitas. Tak ada moralitas, berarti manusia diasumsikan akan berperilaku bejat. “Berperilaku bejat”, dan oleh karena itu Tuhan Yang Maha Kasih menurunkan sejumlah tata moral melalui wahyu-Nya, untuk mengatur manusia.

Tetapi, benarkah demikian?

Sebenarnya, menilik gagasan ketiga filsuf yang disebut di atas, gagasan bahwa agama merupakan satu-satunya sumber moral jelaslah bukan satu-satunya gagasan tentang moral. Sekurangnya, ada dua gagasan lain tentang moralitas yang “non-wahyu”, sebagaimana telah dinyatakan oleh Hume dan Sartre. Hal ini didukung pula oleh sejumlah penelitian bahwa moralitas sesungguhnya telah dikenal oleh hewan-hewan tertentu, meski dalam tingkatan yang sederhana.

“Some animals are surprisingly sensitive to the plight of others. Chimpanzees, who cannot swim, have drowned in zoo moats trying to save others. Given the chance to get food by pulling a chain that would also deliver an electric shock to a companion, rhesus monkeys will starve themselves for several days”. –Artikel di New York Times

Seorang ahli primata dari Universitas Emory, Frans de Waal, sebagaimana dikutip dari situs New York Times, telah melakukan penelitian terhadap sekawanan simpanse. Dari penelitiannya, beliau menyimpulkan bahwa moralitas sebenarnya adalah sesuatu yang naluriah, bukan semata bentukan agama atau filsafat. Hal ini terlihat dari perilaku seekor simpanse yang rela menyeberangi parit –di mana ia sendiri akhirnya tenggelam karena tidak bisa berenang– hanya untuk menyelamatkan temannya. Atau rela tidak makan jika dengan mengambil makanan dapat membuat rekannya tersakiti.

Jadi, “moralisme” –dalam bentuknya yang primitif- sebenarnya telah ada pada makhluk yang belum berpikir secara rasional, pada era “pra-agama”.

“Orang beragama pura-pura tak tahu bahwa tanpa dalil-dalil agama sekalipun, manusia menciptakan aturan yang kompleks untuk mengatur kehidupan mereka agar tidak kacau. Ribuan hukum diciptakan di dunia ini tanpa keterlibatan agama atau wahyu”. –Ulil Abshar-Abdalla

Selama ini, kita sering menjumpai moralitas dan agama selalu dalam “satu paket”. Segala propaganda moral seringkali dikemas, atau disatukan dengan merk agama tertentu. Seolah-olah keduanya tak bisa dilepaskan.

Bagi saya, “agama” itu sendiri adalah “moralitas yang diberi kemasan”. Seperangkat konsep atau tatanan moral, do and don’t, yang dibakukan, diberi merk, kemudian dijual dengan bumbu teologi dan keselamatan surgawi. Lebih jauh, agama pada akhirnya tampak memonopoli moralitas itu sendiri. Seolah, di luar agama tak ada moralitas.

Agama boleh jadi tak bisa dipisahkan dengan moralitas. Tetapi, berdasarkan uraian di atas, moralitas jelas bisa dipisah dari agama. Moralitas bersifat independen dari agama atau wahyu. Seseorang bisa hidup dengan pantas dan bermoral, meski tak menganut suatu agama apapun, bahkan meski tak percaya kepada Tuhan sekali pun. []

Menyimak Pidato Kebudayaan Ulil Abshar-Abdalla

Author Rinaldi

Ulil Abshar-Abdalla membacakan teks Pidato Kebudayaan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 2 Maret 2010. – Foto: Rinaldi.

SEPERTINYA ada satu garis besar ide yang sama di kalangan agamawan liberal-progresif, yaitu kontekstualisasi teks kitab suci. Para agamawan progresif, –tidak hanya di Islam, di Kristen pun demikian, percaya bahwa “teks” apapun yang ditulis jauh di masa lampau –dengan demikian termasuk teks kitab suci– tidak bisa dipahami hanya dengan pembacaan yang literalistik.

Sebuah pesan tidaklah mungkin disampaikan dalam bahasa yang universal, –untuk seluruh manusia sekaligus hanya dengan satu “kemasan” (baca: bahasa) tunggal– meskipun esensi dari pesan itu universal dan abadi. Sebuah “pesan” hadir di tengah manusia tentunya dengan “bahasa setempat” agar mampu dipahami audiencenya. Dengan begitu, adalah ide yang absurd dan irasional mewariskan atau meneruskan sebuah “pesan” tersebut –terlebih pesan yang disampaikan ribuan tahun lalu– berikut “kemasan” yang membungkus pesan tersebut di masa lampau.

Untuk memperoleh pemahaman yang baik atas sebuah teks yang ditulis di masa lampau, si pembaca teks haruslah “kembali ke masa lampau” untuk memahami dulu ihwal latar belakang dan kondisi sosio-politis-historis masyarakat setempat di mana teks tersebut muncul. Dengan cara itu, barulah maksud atau pesan yang tersirat dalam sebuah teks dapat dipahami dengan sebenar-benarnya, untuk kemudian dibawa/diteruskan ke zaman sekarang dalam kemasan “bahasa masa kini”, agar dipahami dengan baik oleh audience masa kini.

Saya pikir, semangat pembaharuan dalam agama dimulai dari pemahaman yang demikian. Esensi universal agama “dikemas ulang” agar dengan begitu terciptalah sikap beragama yang lentur, berorientasi masa depan, solutif dan progresif.

Dalam pidato kebudayaan yang disampaikan pada 2 Maret lalu di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Ulil Abshar-Abdalla nampaknya ingin menyampaikan semangat tersebut. Nah, di bawah ini adalah sedikit rangkuman, juga ulasan sederhana, mengenai isi pidato tersebut.

***

AGAKNYA, anggapan bahwa semakin modern suatu peradaban berarti semakin tersingkir jauh agama, tak sepenuhnya benar. Perkembangan sosial akhir-akhir ini justru membuktikan sebaliknya, agama “bangkit” dalam berbagai bentuk; baik yang bersifat khusus/eksklusif seperti menjadi anggota perkumpulan tertentu, maupun dalam bentuk yang lebih umum, sekedar “iman” tanpa harus terikat dengan komunitas tertentu. Nah, alih-alih mengumandangkan kembali “nostalgia pencerahan lama” di mana agama bisa kembali “dipaksa” masuk ke ruang privat, lebih baik kita hadapi realita tersebut dengan sikap yang positif namun juga kritis.

Ulil melihat kebangkitan agama ini dalam dua arahnya sekaligus: Pertama, kebangkitan yang mengambil bentuk “kembali ke masa lampau”, kepada sesuatu yang dianggap masih suci dan orisinil. Dan yang kedua, kebangkitan yang mengambil bentuk reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran agama (Islam). Dua “arah” kebangkitan agama ini sebenarnya merupakan bentuk yang “sah” dari revivalisme agama. Namun, kekeliruannya adalah anggapan sebagian Muslim yang memandang bahwa “kebangkitan Islam” hanyalah yang berupa aksi “kembali ke masa lampau”, kepada sesuatu yang diasumsikan suci dan “masih orisinil”. Sementara gerakan-gerakan pembaharuan yang berorientasi ke masa depan, justru dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang. Ulil berpendapat, bahwa seharusnya kedua arah gerakan kebangkitan agama tersebut, berjalan bersama-sama secara simultan.

Tiga Kelemahan Salafisme

Salafisme –yang dipahami Ulil secara lebih luas sebagai gerakan untuk kembali ke “teks lampau”, baik dalam bentuk Quran, sunnah, tradisi sahabat, atau sesudahnya—memiliki sejumlah sumbangan positif seperti semangat untuk konsisten kepada Quran dan Sunnah. Namun begitu, ada sejumlah kelemahan mendasar dalam gerakan ini, yaitu adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran masa lampau seluruhnya masih memadai untuk menjawab berbagai persoalan masa kini. Nampaknya gerakan ini tidak menyadari bahwa ada keterkaitan erat antara teks dan konteks; saat konteks berubah, maka teks harus dipahami ulang. Masalah besar terjadi, ketika sebagian masyarakat menjadikan teks Quran dan Sunnah sebagai “penyetop perbincangan” –conversation stopper. Kecenderungan ini berkembang kuat di kalangan salafis, dan ini bukanlah sesuatu yang sehat.

Kelemahan kedua dari salafisme ini adalah, menganggap sebuah teks sebagai “terang benderang”. Teks suci dianggap bisa berbicara sendiri tanpa memerlukan seorang penafsir. Ta’wil atau penafsiran yang alegoris, dipandang oleh kalangan salafis dengan penuh kecurigaan.

Kaum salafis sebenarnya tidak menolak kegiatan menafsir, hanya saja mereka banyak “curiga” terhadap kegiatan ini. Tafsiran diperketat, sehingga timbullah apa yang disebut “absolutisme penafsiran”, atau istilahnya Ulil, “otoritarianisme hermeneutik”. Maksudnya, kecenderungan untuk menganggap hanya ada satu saja bentuk penafsiran yang absah. Dan ini adalah kelemahan ketiga gerakan salafisme.

Efek samping dari otoritarianisme penafsiran semacam itu adalah begitu mudahnya kelompok-kelompok tertentu melakukan penghakiman sesat kepada mereka yang berbeda penafsiran. Situasi ini tentu menghambat upaya ijtihad yang dilakukan para pembaharu agama, sebab ada kekhawatiran dianggap sesat oleh kelompok-kelompok salafis.

Khalafisme Sebagai Alternatif

Ulil melanjutkan, kebangkitan agama tidak semata-mata diterjemahkan dalam bentuk salafisme. Ada bentuk lain yang disebut “khalafisme”, berasal dari kata “khalaf” yang artinya “era kontemporer”.  Khalafisme adalah cara pandang keagamaan yang menghendaki penyesuaian dengan perkembangan peradaban manusia. Khalafisme tidak menolak Quran dan Sunnah sebagai sumber otoritatif, tetapi mencoba memahaminya secara kontekstual.

Dalam kasus poligami dan nikah sirri misalnya, sebagian besar laki-laki dari kalangan elit agama menyetujui kedua praktik tersebut. Alasan formal yang kerap dikemukakan adalah, bahwa keduanya secara eksplisit diperbolehkan dalam hukum agama. Pertanyaan yang timbul dari kasus tersebut adalah: Apakah hukum semacam itu bisa kita terima sekarang ini? Apakah pengalaman perempuan tidak diperhitungkan dalam perumusan hukum ini? Kenapa hukum agama harus dimenangkan “at all cost” seraya mengabaikan pengalaman manusia sebagai subjek yang mulia dan berkehendak? Demikian Ulil memancing kita untuk kritis dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Berbeda dari kaum salafis, gagasan bahwa hukum Tuhan tidak bisa berubah sama sekali, jelas tidak benar. Jika hukum Tuhan berlaku universal, tentu tak ada rangkaian wahyu yang susul-menyusul. Gagasan tentang “historisitas” sudah tertancap dalam konstruksi wahyu itu sendiri. Tuhan “Yang Tak Terbatas” tak bisa dikandung oleh manusia yang serba terbatas. Karena itu, ketika wahyu harus “bersentuhan” dengan manusia, terjadilah proses “kemenyejarahan”. Dan jika firman Tuhan telah mengalami proses menyejarah, maka tak pelak firman akan menbawa sifat-sifat yang relatif dan kontekstual. Perlu dicatat, tidak semua hukum Tuhan berubah; ada sejumlah hukum Tuhan yang bersifat universal, namun banyak di antaranya bersifat relatif dan kondisional.

Saat ini, sebagian besar umat Islam masih berada dalam orbit salafisme; memahami agama dengan memberikan tekanan tinggi pada firman Tuhan dan teks suci, sementara mengabaikan konteks sejarah dan pengalaman manusia. Ulil berpendapat, harus ada semacam “perubahan paradigma” dari pemahaman yang text-minded ke arah pemahaman yang mempertimbangkan pengalaman manusia sebagai subjek berakal.

Penutup

Jika kita simak, garis besar ide yang diusung kaum khalafis dan para pembaharu agama di mana-mana sebenarnya sederhana: yaitu pemahaman keagamaan yang masuk di akal. Sebab, akal sehat adalah modal semua orang. Keadilan, kesopanan, kejujuran, kemanusiaan, adalah nilai-nilai esensial dan universal dari ajaran agama. Perwujudan dari itu boleh jadi berbeda-beda, sesuai konteks zaman, namun “ruh”-nya tetap sama. Tugas elit-elit agama seharusnya membawa masyarakat kepada tingkat kedewasaan yang cukup untuk menerima perbedaan dan pembaharuan ide secara lapang dada, bukan malah membuat masyarakat takut dengan perbedaan dan ide-ide baru.

Dengan cara berpikir semacam itu, kaum Khalafis dan pemikir liberal mencoba mendamaikan antara imperatif keimanan dan imperatif perubahan karena perkembangan sosial dan sejarah. Jika ada kaum Muslim yang layak disebut moderat, merekalah yang pantas menyandang gelar itu. Sebab merekalah yang menjaga keseimbangan antara “tradisi” dan “perubahan”, antara “ashalah” dan “hadathah”, antara otensitas dan modernitas.

Demikian Ulil Abshar Abdalla mengakhiri pidato kebudayaannya. Demikian pula rangkuman singkat saya, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. []

Negara, Berbasis Agama atau Netral Agama?

Egality, fraternity, liberty.

Oleh Rinaldi

PERTAMA-tama kita harus hilangkan dulu segala asumsi negatif yang kerap kali muncul (dimunculkan) dalam wacana-wacana seperti ini. Misalnya asumsi populer bahwa “ada grand design” untuk “menghancurkan agama” di balik semua ide-ide sekuler. Segala asumsi tersebut tak lain dan tak bukan, hanyalah wujud ketakutan kelompok agamis terhadap aneka pembaharuan. Mereka takut dagangannya tak laku, dan mencoba meraih simpati dan dukungan umat dengan menjual asumsi-asumsi seperti di atas, sementara hal itu tak ada hubungannya sama-sekali dengan substansi dari ide-ide yang hendak dilawan. Marilah kita bersaing secara sehat, idea versus idea.

Kemudian, kita juga harus memahami duduk persoalannya dengan baik. Apa yang dimaksud dengan “agama” dalam konteks ini, dan bagaimana hal itu harus dipisah dengan yang disebut “urusan negara”.

Tulisan singkat ini muncul sebagai reaksi dari gencarnya upaya “agamaisasi negara”, baik dalam tingkat upaya penegakan hukum Syariah di berbagai daerah, hingga propaganda subversif untuk menggantikan dasar konstitusi negara dengan “konstitusi Islam”. Ideologi yang disebut terakhir itu kini gencar dipropagandakan oleh organisasi Islam politik, Hizbut Tahrir Indonesia. Sebuah organisasi Islam yang baru gencar kiprahnya di Indonesia setelah lengsernya rezim otoriter Soeharto pada 1998.

Langsung pada masalah, beberapa keberatan saya terhadap konsep “negara agama” atau teokrasi, dibangun dari sejumlah pandangan berikut: Secara mendasar, kepenganutan terhadap agama bersifat personal. Agama bermula dari sebuah keyakinan (faith) kepada Tuhan dan konsep-konsep lain yang berkaitan dengan itu. Agama menuntut ketaklidan penuh terhadap suatu dogma sebagai dasar keimanannya. Bahwa kemudian ada “konsep bermasyarakat” dalam agama tersebut, itu tak melunturkan sifat dasar agama yang demikian. Terlebih dalam sebuah komunitas modern yang plural di mana banyak individu menganut agama yang berbeda-beda, boleh jadi, “konsep bermasyarakat”-nya bisa berbeda-beda (bahkan bertentangan). Dalam komunitas yang seagama pun, sangat mungkin berbeda dalam penafsiran. Apalagi terhadap mereka yang jelas-jelas berbeda agama.

Sementara itu, dalam era modern hubungan antar manusia cenderung tidak didasari oleh ikatan primordial, tetapi “prinsip guna”. Seseorang tidak berhubungan dengan orang lain karena semata-mata sesuku atau seiman, tetapi karena melihat bahwa ada manfaat yang kongkret dalam hubungan tersebut. Dan karena kecenderungan itu, maka konsep negara yang ‘lumrah’, modern, dan rasional adalah nation state, bukan negara yang berdasarkan akar primordial tertentu seperti agama atau ras. Negara yang melibatkan asal primordial tertentu rasanya tidak relevan dengan zaman modern. Apakah suatu sistem kenegaraan atau hukum-hukum itu harus diterapkan hanya karena “ini dari Tuhan”? Cara pikir seperti itu sangat tidak pragmatis dan irasional.

Lebih jauh, menurut Ioanes Rakhmat, seorang pemikir Kristen liberal, upaya mendirikan negara agama atau teokrasi di masa kini adalah sebuah kesalahan hermeneutis yang diakibatkan oleh pembacaan teks kitab suci yang literalistik. Teks kitab suci muncul dalam konteks zaman tertentu di masa lalu, dan oleh karena itu untuk memahaminya dengan baik kita harus menempatkan teks tersebut dalam konteks zaman kemunculannya. Pembacaan yang literalistik cenderung mengabaikan adanya “jurang pemisah” yang begitu besar antara konteks masa lalu (zaman pra-modern) dengan kekinian. Itulah sebabnya, pembacaan yang demikian cenderung menghasilkan norma-norma “asing” yang menggelikan jika diterapkan di masa sekarang. Tetapi, hanya karena itu dipercaya “dari Tuhan”, maka segala bentrokan nilai-nilai tersebut diabaikan dan diterima dengan ikhlas.

Melihat realita pluralnya individu dalam komunitas peradaban masyarakat modern, maka problem yang muncul adalah bagaimana mengikat mereka yang berbeda-beda tersebut agar dapat hidup berdampingan dengan fair?

Jika yang dibutuhkan hanya ”tertib” saja, sistem monarki absolute yang otoriter pun bisa, rezim Soeharto bisa, Saddam Hussein bisa, Idi Amin bisa. Tapi, apa “tertib” saja cukup dan fair? Saya pikir tidak. Peradaban modern sekurangnya membutuhkan kesetaraan derajat (equality) dan kebebasan (liberty), yang dibalut dengan semangat atau “ruh” persaudaraan (fraternity). Ini adalah nilai-nilai dasar peradaban modern yang saya kira akan diamini oleh semua orang yang waras, tidak berjiwa otoriter, tidak bermental feodal, dan tidak merasa superior atas yang lain.

Tidak ada orang yang ingin menjadi kelompok “kelas dua” di masyarakat, semua kelompok ingin jadi “kelas satu”. Juga, tak ada orang yang ingin direnggut kebebasannya. Tetapi “merenggut kebebasan orang lain” boleh jadi keinginan terpendam banyak orang. Satu-satunya “penengah” adalah kesadaran manusia untuk hidup berdampingan dengan semangat kesetaraan derajat, bukan hidup berdampingan dengan superioritas kekelompokan. Peradaban modern “dibuka” dari kesadaran semacam ini.

Kebebasan atau liberalisme sama-sekali bukan, dan sangat berbeda dari keliaran (wilderness). Liberalisme adalah sebuah paham yang memandang bahwa setiap individu memiliki kedaulatan penuh atas dirinya. Hanya saja, karena individu tersebut hidup bersama-sama dengan individu lain yang sama-sama memiliki kedaulatan penuh atas dirinya, maka otomatis kedaulatan ini terbatasi. “Batas” inilah yang membedakan antara liberalisme dengan keliaran. “Batas” ini pula muncul akibat adanya pengakuan atas kesetaraan derajat. Jika tak ada pengakuan atas kesetaraan derajat, “batas” ini tak ada. Yang kuat pasti akan berupaya memperluas kedaulatan individunya, mengikis kedaulatan individu kelompok yang lemah. Oleh sebab itu, “kesetaraan derajat” (equality) adalah “kata kunci” yang begitu penting dan fundamental dalam bahasan ini. Nah, apakah nilai-nilai dasar mengenai kesetaraan derajat ini mampu ditawarkan oleh ideologi berdasarkan asal primordial, seperti agama (faith)?

****

PERSPEKTIF agama (terlebih agama samawi yang berpangkal dari teologi dan bukan humanisme) dibangun dari superioritas keumatan, dan bukan kesetaraan derajat antar-manusia. Pada dasarnya, agama tak memandang manusia secara setara. Setidaknya, “orang beriman” pasti dipandang lebih tinggi derajatnya, baik secara teologis maupun sosial dibandingkan “orang kafir”. Sebagai contoh, dalam konsep Khilafah Islamiyah, secara mendasar negara membagi warganya menjadi dua kelompok berdasarkan keimanan; Muslim dan kafir (ahludzimmah). “Umat lain” tentu dipandang inferior, berdosa, “belum dapat hidayah”, dan seterusnya. Ditambah lagi sifat patriarkis agama samawi, sebagai contoh Islam, membuat perempuan menjadi “manusia kelas dua” di bawah laki-laki. Dari urusan bersaksi di pengadilan, hak waris, sampai urusan politik, perempuan tak mendapat tempat yang sama dengan laki-laki. Begitu juga non-Muslim, yang tentu dibatasi hak-hak politiknya dan kualitas kesaksiannya di pengadilan. (baca tulisan saya: Posisi non-Muslim dalam Khilafah).

Perspektif agama juga tak mengenal kedaulatan individu, karena agama bersifat “mengatasi” manusia. Atas sifat itu, para wakil Tuhan di bumi tentu ingin punya “kontrol penuh” atas ruang privat individu lain, berdasarkan ajaran agama. Salah satunya adalah upaya kontrol terhadap pemikiran masyarakat. Ide-ide yang sekiranya “mengancam kedaulatan agama”, diawasi, bahkan dilarang. Pencetusnya dipandang seperti kriminal, bahkan bisa dihukum mati. Gereja Katolik pernah membakar hidup-hidup Giordano Bruno karena berpendapat ada kemungkinan makhluk lain di luar bumi. Juga menghukum Galileo Galilei, karena menyebarkan ide Copernicus mengenai Heliosentris. Tak terhitung pula berapa banyak pemikir dan pembaharu di Eropa yang “difatwa sesat” oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama. Hal serupa terjadi dalam sejarah peradaban Islam sejak abad pertengahan dulu hingga abad modern sekarang ini. Pemikir besar Muslim seperti Ibn Rushd, Al Farabi, Al Arabi, dan sebagainya adalah “korban fatwa sesat” sejumlah ulama. Superioritas kekuasaan agama juga terjadi di abad 20 ini. Ulama Mesir telah berhasil mengusir cendekiawan Muslim Nasr Hamid Abu Zayd hingga beliau hengkang ke Belanda, karena pemikirannya yang liberal dan dianggap telah murtad. Nasib yang lebih buruk menimpa Farag Fouda, rekan senegara Abu Zayd, yang dibunuh atas dasar fatwa mati ulama, karena tulisan-tulisannya yang kritis. Abu Zayd dan Farag Fouda adalah sedikit contoh di abad 20 terhadap bagaimana “kekuasaan agama” cenderung bercorak tirani dan alergi terhadap kritik.

Apakah dengan nilai-nilai seperti itu kita akan hidup di era modern yang menuntut keterbukaan, dan kesetaraan?

Kekuasaan berbasis agama cenderung alergi terhadap kritik dan opini-opini keagamaan yang di luar mainstream. Sementara “kritik”, terhadap apapun, adalah kontrol sosial yang alamiah dan cermin dari peradaban yang terbuka. Bagaimana mungkin peradaban bisa berjalan dengan sehat tanpa budaya kritis? Kekuasaan seperti itu juga cenderung menghasilkan atmosfer keagamaan yang monolitik, dan sama-sekali tidak plural. Lihat saja Iran, dapatkah Muslim Sunni menjadi kepala negara? Lihat Arab Saudi, dan bagaimana nasib Syiah di sana? Jika pun negara Khilafah berdiri, apakah pemerintahannya akan bercorak Sunni atau Syiah?

Sekali lagi, kekuasaan berbasis agama hanya akan menghasilkan atmosfer keagamaan yang monolitik, rigid, dan cenderung bercorak tirani. Hanya akan ada satu saja tafsir tunggal, sementara bentuk penafsiran lain akan diberangus, minimal dinomorduakan. Sementara pemahaman manusia terhadap agama itu sangat beragam dan dinamis. Ini sesuatu yang buruk baik bagi agama tersebut maupun bagi para penganutnya. Bagaimana pun negara haruslah netral agama, dan cukuplah menjadi wasit sekaligus wadah bagi pluralitas individu yang ada. []