Author: Rinaldi
Demonstrasi, bagian dari kebebasan berekspresi dalam negara yang demokratis.
DEMOKRASI menjadi kata yang populer di telinga banyak orang dewasa ini. Terkhusus di Indonesia pada penghujung abad 20, kata “demokrasi” begitu nyaring bergaung seiring tumbangnya rezim Soeharto dan semangat reformasi 1998.
Demokrasi tidak hanya ramai dibicarakan di kalangan pendukungnya saja, tapi juga ramai digaungkan para penentangnya. Mereka yang menentang demokrasi, umumnya adalah kelompok ekstrim kanan yang di Indonesia marak bermunculan seiring dengan tumbangnya rezim Soeharto.
Dalam pendapat populer, demokrasi kerap kali diidentikkan dengan “suara/kehendak mayoritas”. Dari persoalan pemilihan ketua kelas dalam sebuah sekolah menengah, sampai pemilihan ketua DKM pada masjid di kampung-kampung, sudah bergaya pilkada dengan metode pemungutan suara. “Demokrasi” katanya.
Istilah “pemungutan suara” menjadi begitu populer seiring dengan popularitas kata “demokrasi”. Demokrasi pun identik dengan pemungutan suara dan “kehendak mayoritas”. Ini pula yang kemudian dipahami dan ditentang oleh para pengkritik demokrasi. “Pemungutan suara”, pendapat mereka, hanya akan menghasilkan keputusan berbasis kuantitas, bukan kualitas. Ada benarnya kritikan itu.
Tapi, apakah sesungguhnya demokrasi itu? Benarkah demokrasi itu semata-mata sekedar “suara mayoritas?” Ini yang perlu dicermati ulang. Karena, di samping istilah “demokrasi” kita mengenal ada majoritarianism dan mobokrasi. Keduanya jelas bukan demokrasi yang kita idealkan, tapi suatu bentuk “ketergelinciran” dalam demokrasi.
Kehendak mayoritas?
Jika anda berkeyakinan bahwa demokrasi semata-mata kehendak mayoritas, maka bersiaplah untuk menerima kenyataan jika ada negara “demokratis” yang melegalkan perbudakan atau pembantaian etnik minoritas, atas nama “kehendak mayoritas”. Baiklah ilustrasi berikut ini menjadi bahan perenungan.
Sebuah negara kecil yang “demokratis”, dihuni oleh seribu orang. Sembilan ratus warganya, adalah etnik A. Sedangkan sisanya, seratus orang, adalah etnik B.
Etnik A dalam negara itu, dikenal memiliki solidaritas keetnisan yang begitu kuat, sampai pada akhirnya mereka berpikir untuk mengenyahkan warga minoritas etnik B demi memurnikan negara mereka. Tentu, niatan ini ditolak oleh warga minoritas dari etnik B. Terjadilah silang pandangan, dan akhirnya diputuskan untuk melakukan semacam “referendum nasional” yang isinya adalah memutuskan dengan tegas, apakah etnik B diperbolehkan tinggal di negara tersebut, atau harus hengkang jika tidak mau dibantai habis?
Karena etnik A adalah mayoritas, dengan kekuatan sembilan ratus suara, maka bisa dipastikan bahwa keputusan akan berpihak pada mayoritas, berdasarkan metoda voting.
Etnik B harus terima kenyataan pahit, bahwa mereka harus hengkang dari negara itu atau rela dibantai oleh warga etnik A, sebagai wujud dari “kehendak mayoritas”.
Manusiawikah keputusan itu? Jelas tidak. Demokratiskah keputusan itu? Jika anda meyakini bahwa demokrasi semata-mata “kehendak mayoritas”, maka jawabannya adalah sangat demokratis. Tapi, apakah betul demokrasi semata-mata kehendak mayoritas? Jelas tidak, dan inilah pokok bahasan yang hendak diketengahkan.
Pertama-tama, perlu dipahami bahwa demokrasi memandang manusia per-individu, bukan per-kelompok
Dalam worldview tradisional yang bersifat primordialistik, manusia dipandang dalam penekanannya sebagai bagian dari suatu kelompok primordial tertentu ketimbang sebagai individu.
Dalam pandangan yang semacam itu, seorang individu nyaris tidak memiliki kedaulatan. Karena sebagian dari dirinya, harus direlakan menjadi milik kelompok. Keanggotaan terhadap kelompok itu pun, didapatkan karena kelahiran dan bukan pilihan bebas. Ia nyaris tidak memiliki kebebasan individu, kecuali hanya sedikit saja.
Karena penekanan worldview ini adalah pada kelompok, maka cenderung tidak ada kesetaraan derajat asasi. Seseorang atau sebagian kelas masyarakat boleh jadi memiliki derajat asasi yang lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan.
Dalam masyarakat Jogja misalnya, seseorang secara otomatis didaulat menjadi Gubernur (baca: pemimpin) berdasarkan faktor keturunan. Begitu pun dalam masyarakat tradisional Hindu, terdapat kasta-kasta. Berbagai pembedaan kelas masyarakat itu tidak diperoleh karena semata-mata ability atau prestasi yang dicapai melalui usaha tertentu, tapi pada dasarnya sudah “given” –by birth.
Jadi, jangan tanya apakah warga Jogja non-Jawa memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur, sedangkan orang Jawa sendiri tidak memiliki kesempatan itu jika bukan keturunan darah biru.
Varian lain dari worldview yang bersifat kekelompokan adalah pada konsep masyarakat yang teokratis. Dalam konsep ini, “kesamaan iman” menjadi hal penting untuk mengikat masyarakat. Manusia lagi-lagi dipandang secara per-kelompok, bukan per-individu. Thus, mereka yang kebetulan berbeda agama atau mahzab, otomatis dipandang sebagai “masyarakat kelas dua”. Contoh masyarakat dengan konsep teokratis adalah pada Daulah Khilafah Islamiyah.
Pandangan yang terurai di atas jelas berbeda dengan pandangan dalam demokrasi, di mana manusia secara mendasar dipandang dalam penekanannya sebagai individu, bukan bagian dari kelompok primordial apapun.
Dalam penekanannya sebagai makhluk individu, seorang manusia memiliki kedaulatan dan kebebasan. Kedaulatan dan kebebasan ini adalah point penting dalam nilai-nilai demokrasi. Dalam kerangka kedaulatan dan kebebasan ini, seorang individu kemudian dapat memutuskan untuk “bersosialisasi”, bertemu dan berkumpul dengan individu-individu lain, yang –tentu saja- mereka semua memiliki kedalutan dan kebebasan yang sama. Di sinilah, awal munculnya konsep kesetaraan derajat manusia.
Kesetaraan derajat, adalah asas fundamental dalam demokrasi
Dalam kerangka kesetaraan derajat dan kebebasan, seorang individu tidak bisa dipaksa untuk memasuki suatu perserikatan. Sebaliknya, ia juga tidak dipaksa untuk tetap berada dalam suatu perserikatan. Seorang individu memiliki kedaulatan dan kebebasan untuk memutuskan, apakah ia akan bergabung dengan suatu perserikatan atau tidak; apakah ia akan tetap berada dalam suatu perserikatan, atau mengundurkan diri.
Pola hubungan sosial dalam masyarakat modern yang demokratis dan egaliter, adalah pola hubungan sosial yang dibangun dan didasari oleh asas guna, ketimbang faktor ikatan primordial atau kesamaan teologi. Dalam kerangka hubungan sosial yang demikian, maka ability dan prestasi memiliki nilai yang amat besar. Setiap individu terlahir setara, dan oleh karena itu memiliki hak dan kebebasan yang sama untuk memperoleh sejumlah ability dan prestasi tertentu, sehingga ia memiliki “daya tawar” yang baik dalam masyarakatnya.
Nilai-nilai semacam itu tidak ada dalam masyarakat primitif yang primodrialistik, seperti dalam sistem kesultanan Jogja, masyarakat berbasis kasta dalam Hinduisme, atau dalam konsep negara teokrasi semacam Khilafah Islamiyah. Sepandai-pandainya anda memiliki prestasi di bidang kepemimpinan dan ketata-negaraan, anda mustahil menjadi orang nomor satu di suatu negeri, jika anda bukan keturunan darah biru atau bukan “penganut agama tertentu”.
Kemudian, untuk menjamin hak, kebebasan dan kedaulatan yang dimiliki oleh tiap individu tersebut, maka dibuatlah sebuah institusi pemerintahan dengan tujuan menjadi “wasit” yang mengatur dan menengahi hubungan antar-individu. Sejumlah tata hukum dibuat dan ditegakkan, sehingga peradaban dapat berjalan dengan tertib dan lancar. Semua idealisme tersebut sesungguhnya telah terangkum dalam tiga kata yang populer dalam revolusi Perancis; kesetaraan derajat, persaudaraan, dan kebebasan.
Demokrasi: Kesetaraan derajat, musyawarah, dan dialektika
Boleh dikatakan, bahwa demokrasi memerlukan basis masyarakat yang cerdas dan individualistik agar dapat teraplikasi dengan baik. Adanya kesenjangan intelektual antar-warga, ditambah corak pandangan yang primordialistik dan berbasis kelompok, dapat membuat demokrasi seringkali tidak bisa terlaksana dengan baik.
Jika kita amati penerapan demokrasi di Indonesia, sekurangnya dua faktor tersebut merupakan kendala utama. Dua faktor tersebut juga seringkali mengaburkan makna dari kesetaraan derajat dan menghambat jalannya musyawarah yang cerdas dan dialektis. Demokrasi yang dibangun di atas basis masyarakat demikian, hanya akan berpotensi menjadi majoritarianismatau mobokrasi.
Majoritarianism sangat berpotensi menindas atau menomorduakan kelompok minoritas. Sedangkan mobokrasi dapat memunculkan aksi-aksi massa yang vandalistis, intimidatif dan seenaknya sendiri. Masih hangat di benak kita, bagaimana segerombolan massa pendukung Sri Sultan berkumpul di depan gedung DPRD DIY di Malioboro, untuk “mengintimidasi” Sidang Istimewa DPRD DIY yang membahas soal penetapan Gubernur Jogjakarta. Hasil sidang pun akhirnya memutuskan bahwa Gubernur DIY ditetapkan, bukan dipilih. Keputusan tersebut dapat diragukan kemurniannya, karena adanya faktor “intimidasi” dari para pendukung Sri Sultan yang –dalam kasus ini—melibatkan unsur-unsur primordialisme kejawaan. Sulit memang, kalau demokrasi dibangun di atas masyarakat yang berbasis kelompok dan primordialistik.
Musyawarah adalah sebuah “forum pertemuan” di mana individu-individu berkumpul untuk mendiskusikan suatu masalah serta mencari jalan keluarnya. Jelas, dalam forum semacam itu dibutuhkan intelektualitas; kemampuan berargumentasi dan berdialektika, bukan kekuatan otot atau semangat primordialisme.
Jika dalam suatu forum musyawarah dihadiri oleh sepuluh individu yang setara, maka pertama-tama akan ada sepuluh pendapat. Sepuluh pendapat tersebut akan bersaing dan diuji dengan perdebatan. Hanya pendapat-pendapat yang baik dan rasional yang akan mampu bertahan. Pendapat-pendapat yang kurang baik dan lemah, akan ditinggalkan atau bersintesa dengan pendapat-pendapat lainnya.
Jelas, sampai di sini saja dibutuhkan nalar sehat dan jiwa sportif. Karena pendapat-pendapat unggul, adalah pendapat-pendapat yang rasional dan teruji dalam perdebatan. Bukan pendapat yang diteriakkan oleh mayoritas, bukan pendapat yang berbasis primordialisme, bukan pula pendapat yang dilontarkan dengan intimidasi dan ancaman. Mampukah bangsa Indonesia sampai pada level peradaban seperti itu?
Dalam demokrasi, ”suara mayoritas” hanya berlaku dalam konteks voting. Sementara voting itu sendiri bukanlah nafas utama dalam demokrasi, melainkan hanyalah aksi darurat ketika musyawarah tidak kunjung menghasilkan keputusan, atau karena satu dan lain hal sehingga musyawarah tidak bisa dilaksanakan. Dalam musyawarah, keputusan bisa sulit ditetapkan dikarenakan pendapat-pendapat yang bersaing dalam forum tersebut sama kuat dan sama-sama telah teruji.
Voting memang perkara kuantitas, bukan kualitas. Oleh sebab itu, tidak sembarang hal bisa di-vote, melainkan hanya hal-hal tertentu yang telah melalui proses uji dan dialektika yang layak untuk di-vote.
Demikian pula dalam pemilihan kepala negara. Voting saja hanya akan menghasilkan keputusan yang berbasis kuantitas, bukan kualitas. Untuk mengimbanginya, diperlukan seleksi kualifikasi yang ketat untuk para calon kepala negara, sebelum memasuki babak pemilihan.
Setelah terpilih pun, diimbangi pula dengan adanya kebebasan pers sehingga jalannya pemerintahan kelak transparan, senantiasa terkontrol oleh publik, dan tidak bebas kritik. []