Kristenisasi dan Pemurtadan

PDF, ternyata menjadi salah satu agama besar dunia.
PDF, ternyata menjadi salah satu agama besar dunia.

ANDA yang sering dengar dakwah Islam, pasti pernah atau bahkan sering dengar kata ini: “Kristenisasi” dan “Pemurtadan”.

Ini kata provokatif yang menjadi momok di lingkungan muslim. Kata yang dapat membuat banyak muslim marah, jengkel, kesal dan benci terhadap unsur-unsur berbau “kristen”. Memangnya, apa sih arti kedua kata tersebut? Kenapa umat muslim begitu khawatir terhadap dua kata tersebut? Apakah kekhawatiran tersebut adalah hal yang wajar, atau sekadar bentuk paranoia umat saja karena menghadapi “kompetitor” dalam beragama? Saya tertarik untuk membahas soal ini.

Kedua kata tersebut mengacu pada suatu tindakan “mempengaruhi seseorang menjadi kristen”, “menyebarkan agama kristen”, atau “mempengaruhi seseorang untuk keluar dari Islam”, dan sebagainya.

Pertanyaannya: Apakah mempengaruhi seseorang untuk menjadi kristen atau menyebarkan keyakinan kristen (juga hal yang sama untuk keyakinan islam, hindu, buddha, dst) adalah sesuatu yang salah?

Menurut hemat saya, asalkan sekedar mempengaruhi dan menyebarkan pemikiran/ajaran agama, tanpa ada unsur paksaan dan ancaman, sebetulnya tidak ada yang salah. Terus, kenapa banyak muslim khawatir terhadap kristenisasi? Ini pertanyaan besar saya.

Bukankah setiap agama, termasuk Islam, juga disebarkan dengan cara-cara “sasi” semacam itu? Sadarkah bahwa sebenarnya Wali Songo pun melakukan “Islamisasi” terhadap Hindu-Buddha di Jawa?

Saya tidak beragama, ex-muslim, dan kini pemikir bebas saja. Sikap saya dalam hal ini, adalah mendukung upaya menyebarkan agama apapun dan tindakan mendakwahkan ajaran agama apapun ke luar umat, asalkan dilakukan dengan cara-cara yang fair. “Fair” dalam arti tidak ada unsur pemaksaan.

Saya tidak memeluk agama, tapi saya mendukung sikap orang untuk beragama dan berpindah agama, sejauh itu dilakukan secara damai, tanpa ancaman dan paksaan. Saya percaya bahwa yang membatasi kebebasan individu, adalah kebebasan individu lain. Oleh sebab itu saya tidak bisa menolak suatu individu untuk melakukan apapun, sejauh apa yang dia lakukan tidak merugikan, tidak memberangus kebebasan individu lain.

Mari kita buat simulasi kasus: Anggaplah saya muslim, dan suatu hari saya bertemu dengan X yang mendakwahkan agama kristen ke saya. Singkat cerita, saya kemudian tertarik memeluk agama kristen berkat si X ini. Terus, urusannya apa sama ormas Islam, MUI, atau masyarakat muslim pada umumnya? Apakah si X telah bersalah? Kalaupun si X bersalah, salahnya dia apa? Lah wong dia tidak memaksa apa-apa sama saya, dan saya pun masuk kristen atas dasar wewenang bebas saya sendiri? Memangnya sebagai muslim, saya dilarang keluar dari Islam? Apakah “keluar dari Islam” adalah perbuatan kriminal di NKRI ini?

Anggaplah si X mengiming-imingi saya Toyota Alphard jika saya mau masuk kristen. Dan saya pun setuju tawaran si X. Terus, apakah si X salah? Dengan atau tanpa iming-iming materi, setiap individu berhak berpindah agama atas kewenangan diri sendiri. Apa juga urusannya dengan ormas Islam, MUI atau masyarakat muslim pada umumnya? Toh ini urusan saya dengan si X.

Apapun alasannya, “pindah agama” asal dilakukan berdasarkan wewenang individu, bukan merupakan hal kriminal di NKRI.

Saya tidak setuju upaya-upaya penyebaran agama dengan paksa, dengan ancaman, dengan –misalnya—hipnotis dsb. Saya pernah membaca kasus-kasus “kristenisasi” dengan cara hipnotis di sebuah media dakwah Islam online bertahun-tahun yang lalu. Dan saya kira jika kalian muslim, kemungkinan besar kalian pernah membaca hal sejenis itu. Saya tidak percaya begitu saja dengan kasus-kasus semacam itu. Tapi jikapun itu benar, saya tidak setuju. Biarlah orang bebas menyebarkan agama, dan biarkan pula si individu memutuskan apakah tertarik dan memeluk agama baru tersebut atau tidak tanpa harus ada unsur paksaan dari pihak manapun. Saya pikir ini adalah aturan yang cukup fair, yang bisa diamini pihak umat beragama manapun yang berniat jujur dan baik.

Saya memiliki kesimpulan sederhana,  bahwa kenapa banyak umat muslim begitu khawatir dengan “kristenisasi” dan “pemurtadan”, antara lain adalah karena faktor rasa iri kehilangan umat. Rasa sakit hati karena khawatir supremasi agamanya akan tercoreng dengan adanya umat yang berpindah agama. Juga rasa khawatir bahwa suatu ketika jumlahnya tak lagi mayoritas sehingga masyarakat kehilangan identitas primordialnya.

Ini adalah sikap inferior kelompok mayoritas (dalam hal ini muslim) terhadap kelompok minoritas. Tidak lebih dari itu. Rasa inferior semacam itu sangat mungkin terjadi pada umat beragama lain, semisal umat kristen di lingkungan tertentu dengan kadar fanatisme yang sama.

Realistis dan rasional sajalah. Pindah agama bukan tindakan kriminal, begitu pula menyebarkan agama. Tidak perlu merasa iri dengan umat lain yang menyebarkan agamanya dan kemudian berhasil mendapatkan pengikut baru. Semua agama pernah melakukan hal yang sama.

Setiap kelompok umat beragama berhak mempromosikan agamanya untuk mendapatkan pengikut baru. Tapi, tiap orang juga berhak dan memiliki wewenang penuh untuk memilih apakah dia mau ikut dengan agama yang dipromosikan tersebut atau tidak. []

Muslim, Berkacalah dari Peristiwa Tolikara

Kerusuhan di Tolikara. Sumber foto: Radio Elshinta
Kerusuhan di Tolikara. Sumber foto: Radio Elshinta

COBA anda bayangkan, di sebuah perkampungan kecil yang mayoritas muslim yang kental dan fanatik, sedang digelar sebuah acara “Tabligh Akbar” yang mengundang ustad “garis keras” terkenal dan berskala cukup besar. Yang kebetulan, acara Tabligh Akbar tersebut bertepatan dengan momen peringatan Natal.

Nah, di kampung tersebut, terdapat juga sejumlah minoritas Kristen yang kebetulan sedang melakukan ibadah dalam rangka peringatan Natal. Kelompok Kristen ini menggunakan sound system yang suaranya cukup kencang, untuk menyanyikan lagu-lagu rohani. Walhasil, gema suara “haleluya.. haleluya..” berkumandang dan bertumpang tindih dengan loud speaker acara Tabligh Akbar.

Dalam kondisi macam itu, coba anda bayangkan, bagaimana reaksi mayoritas muslim yang relatif fanatik tersebut? Wah.. bisa dipastikan, kegiatan kebaktian Natal tersebut akan habis digeruduk massa, diiringi teriakan takbir. Tak tertutup kemungkinan, bangunan gereja pun jadi sasaran pengrusakan oleh massa. Tidak perlu munafik, kita semua mengakui kemungkinan tersebut jika dalam kondisi demikian.

Itulah ilustrasi sederhana mengenai apa yang kurang lebih terjadi di Tolikara. Hanya saja, di Tolikara umat Kristen fanatik yang berada dalam posisi “mayoritas”.

Fanatisme beragama itu akan menghasilkan sesuatu yang sama saja; Dominasi mayoritas, perasaan superior dan paling benar, perasaan egois dan tidak mau kalah. Dan terakhir, sikap minim toleransi.

Itulah sikap yang tercermin dalam organisasi Kristen GIDI (Gereja Injili di Indonesia), yang dalam surat selebaran yang beredar sebelum peristiwa, bahkan melarang aliran Kristen lain non-GIDI untuk sama-sama eksis berkegiatan. Apalagi Islam yang jelas-jelas berbeda agama.

Banyak umat muslim berkomentar “panas” atas peristiwa yang terjadi di Tolikara. Mereka mengutuk keras pelaku “pembakaran masjid”, dan memandang peristiwa tersebut dari perspektif sempit fanatisme agama. Bahkan ada ancaman untuk “jihad” ke Papua segala.

Terus terang, saya geli mendengar sikap muslim yang mudah terbakar semacam itu, khususnya pada kasus Tolikara. Apa mereka tidak sadar, bahwa muslim pun seringkali bersikap serupa terhadap minoritas baik Kristen maupun aliran-aliran lain di Jawa?

Sebut saja, ada segerombol massa Islam membubarkan acara Doa Rosario di sebuah rumah warga di Yogyakarta. Kemudian, ada pula massa Islam yang mengancam acara pemberkatan nikah di Gereja Pentakosta di Jatinangor. Pelarangan pembangunan Gereja Filadelfia serta pembubaran acara kebaktian jemaat tersebut di Bekasi. Penyegelan GKI Yasmin oleh Pemda yang ditekan oleh warga, walau Gereja itu sudah ber-IMB dan sudah memenangkan perkara di Mahkamah Agung. Pengusiran warga minoritas Syiah di Sampang hingga mereka harus mengungsi ke luar kampung mereka. Pembubaran acara diskusi buku Irshad Manji di Salihara dan  LKIS Yogyakarta yang berujung ricuh. Dan masih banyak lagi.

Segerombolan massa Islam juga pernah menuntut penurunan Patung Buddha Amitabha di Wihara Tri Ratna Tanjung Balai, karena patung tersebut dinilai “tidak Islami”.

Belum lagi, kasus bom di Gereja Injil Sepenuh Solo oleh kelompok radikal Islam di tengah-tengah kebaktian beberapa tahun lalu.

Tentu tidak semua muslim setuju dan menjadi bagian dari sejumlah ormas rusuh tersebut. Tetapi, melihat fakta yang demikian, sekurangnya umat muslim harus malu melihat peristiwa Tolikara. Malu, karena pelakunya, yang mereka hujat itu, tidak jauh dari perilaku saudara mereka sendiri; Fanatik, dominan karena merasa mayoritas, egoisme kekelompokan yang tinggi, dan minim toleransi.

Umat muslim di Tolikara sudah merasakan tidak enaknya ibadah dibubarkan paksa oleh amukan massa. Hendaknya ini menjadi pelajaran untuk kita semua, khususnya kaum muslimin, untuk tidak melakukan hal yang sama pada kegiatan ibadah agama lain. []

Apa Yang Tidak Anda Lihat di Media Tentang Gaza? – Tanggapan Atas Wawancara Tim Marbun dengan Dubes Palestina, Fariz Mehdawi

Tim Marbun dan Fariz Mehdawi. Sumber: Blog Tim Marbun.
Tim Marbun dan Fariz Mehdawi. Sumber: Blog Tim Marbun.

SEKITAR bulan September 2014, saya diberi link wawancara Tim Marbun, wartawan Kompas TV dengan Fariz Mehdawi oleh seorang teman melalui medsos. Setelah saya baca, saya memberikan sedikit tanggapan di kolom komentar karena merasa ada yang perlu “diluruskan”.

Sekian lama komentar saya awaiting moderation, tak kunjung di­approve. Tidak apa-apa, mungkin yang bersangkutan sibuk. Oleh karena itulah saya berpikir untuk mengupload saja komentar tersebut di blog saya sendiri sekedar upaya sharingpendapat. Berikut adalah isi komentar saya.

—————————————————————-

Dear Tim Marbun,

Saya seorang blogger yang kebetulan punya interest terhadap isu konflik Israel-Palestina. Link artikel ini saya dapat dari seorang teman di medsos beberapa waktu yang lalu, yang sudah saya baca tetapi baru kali ini sempat memberi reply.

Saya tertarik dengan judulnya, Apa yang tidak anda lihat di media tentang Gaza?”

Saya jadi bertanya-tanya, “apa ya yang belum saya lihat di media tentang Gaza?” Perasaan, sejauh saya menyimak, sebagian besar yang saya lihat di media khususnya di Indonesia, terkait konflik Israel-Palestina, adalah tentang Gaza. Mungkin belum semua “tentang Gaza” tertumpah di media, tapi, sebagian besar pemberitaan terkait konflik Israel-Palestina, adalah tentang Gaza (dan Tepi Barat dalam kasus yang lain).

Dengan kata lain, media mainstream khususnya di Indonesia hanya memberitakan dari satu sisi, yakni sisi Otoritas Palestina. Ini timpang dan kurang memuaskan bagi para pencari informasi sejati.

Yang saya ingin lihat di media, khususnya media-media di Indonesia, adalah justru tentang Israel; Bagaimana mereka memandang konflik ini, apa apa alasan mereka meroket Gaza, bagaimana kehidupan sehari-hari di Israel terutama warga Arab-Muslimnya, juga korban-korban Israel akibat roket-roket Hamas dan seterusnya.

Tidak pernah ada informasi yang berimbang mengenai konflik ini. Media cenderung berpihak, biasanya sih, ke pihak Otoritas Palestina. Yah, asumsi saya, karena itu yang bisa dijual mengingat segmen pemirsa di Indonesia adalah mayoritas muslim.

Di Gaza tewas 1000 orang sipil, seluruh dunia terutama dunia Islam ramai mengecam Israel. Tetapi sebelumnya 170.000 sipil tewas di Syria, tidak ada yang serius mengecam apalagi sampai demonstrasi di Bundaran HI. Ini tidak adil. Opini publik sudah dibangun oleh media.

Dalam paragraf berikut ini, akan saya sampaikan sedikit pertanyaan dan –mungkin—keberatan terhadap pernyataan Pak Dubes:

“Di Gaza, yang ada hanyalah penduduk sipil. Kita tidak ada tentara. Kita bahkan hampir tidak memiliki pasukan kepolisian untuk keamanan internal.  Kami tidak memiliki pasukan yang bisa bertempur melawan tank dan persenjataan berat dari pasukan Israel, pasukan terbesar dan terbaik ke-4 dunia. Bagaimana kami di Gaza bisa bertempur melawan pasukan sebesar itu?

Jadi menunjukkan bahwa yang terjadi di Gaza adalah perang, itu tidak adil. Ini adalah pembantaian oleh pasukan yang sangat canggih dari negara Israel, melawan populasi sipil, yang bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya”.

Jujur, saya tidak percaya begitu saja pada klaim ini. Hamas memiliki gudang bawah tanah di pemukiman-pemukiman penduduk, bahkan termasuk di sekolah PBB yang kemarin dibom itu.

Hamas memiliki ribuan roket-roket yang walaupun –katakanlah—masih kalah canggih dengan roket-roket Israel, tetapi itu terhitung “persenjataan berat”. Inilah yang menjadi modal Hamas untuk meroket target-target sipil Israel.

“Karena inti dari konflik ini adalah okupansi militer yang dilakukan oleh Israel sejak 1967. Seluruh dunia mengatakan bahwa solusinya adalah menciptakan 2 negara yang hidup damai bersebelahan. Ada beberapa kendala, pertama adalah dimana batas negaranya? Kami mengatakan batas negaranya mengikuti kondisi tahun 1967, sebelum Israel mengokupansi wilayahnya. Menurut batasan ini, Palestina adalah Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem. Itu basis fundamental dari kesepakatan damai, namun meski diterima seluruh dunia, Israel menolak mengakui batasan ini”.

Betul, saya setuju Pak Dubes, bahwa akar konflik Israel-Palestina adalah pendudukan wilayah-wilayah Tepi Barat dan Gaza (juga Sinai dan Golan Height) pada perang 6 hari 1967.

Saya pun juga setuju dengan pendapat solusi dua negara di mana batasnya adalah pra-1967 sebelum Israel menduduki Tepi Barat dan Gaza. Tetapi…

Dikatakan bahwa “Israel menolak mengakui batasan ini”, benarkah? Tahun 2004 Ariel Sharon mengajukan proposal penarikan mundur total pemerintahan Israel dari Gaza, yang terealisasi setahun kemudian. Pada September 2005, Israel telah mundur total dari Gaza, dan sejak itu praktis Gaza merdeka dan bukan lagi wilayah dudukan Israel. Ini adalah langkah maju bagi perdamaian di timur tengah.

Walaupun penarikan mundur instrumen pemerintahan Israel dari Gaza –katakanlah—belum memuaskan beberapa pihak Otoritas Palestina, tapi bukankah semestinya ini disyukuri sebagai kemajuan?

Sebelumnya, Israel dan representatif Palestina menandatangani Oslo Accord I dan II, yang hasilnya adalah pembentukan Otoritas Nasional Palestina di Tepi Barat dan Gaza, di mana Palestina memiliki kontrol penuh atas zona A di Tepi Barat (sementara zona B harus berbagi dengan Israel dan zona C dikontrol penuh oleh Israel).

Pertanyaan saya selanjutnya: Apakah Hamas mau mengakui solusi dua negara dengan batasan pra-1967? Saya rasa tidak. Anda pernah lihat logo Hamas? Mereka menggambarkan “palestina” adalah seluruh Israel, Tepi Barat dan Gaza. Artinya, itu cerminan ideologi Hamas yang tidak setuju solusi dua negara. Hamas bertujuan menghancurkan Israel dan dunia diam terhadap itu, sementara menuntut Israel mengakui solusi dua negara. Apakah ini fair?

Kemudian,

Di atas disebut mengenai solusi dua negara dengan batasan pra-1967. Saya bertanya pada Pak Dubes, APAKAH, SEBAGAI ORANG ARAB, ANDA TIDAK MALU DENGAN TUNTUTAN SEPERTI ITU?

Jika Arab mau menerima UN Partition 1947, wilayah Arab-Palestina akan bisa jauh lebih besar dari batas pra-1967. Tetapi waktu itu pihak Arab menolak, dan pihak Yahudi menerima.

Mahmoud Abbas, presiden anda, bisa lebih jujur. Beliau mengakui bahwa salah satu kesalahan bangsa Arab terkait konflik ini adalah menolak UN Partition:

http://www.reuters.com/article/2011/10/28/us-palestinians-israel-abbas-idUSTRE79R64320111028

“Arabs made a “mistake” by rejecting a 1947 U.N. proposal that would have created a Palestinian state alongside the nascent Israel, Palestinian President Mahmoud Abbas said in an interview aired on Friday”.

“Tujuan utama Israel bukan di Gaza, tapi membangun permukiman di Jerusalem dan di Tepi Barat. Jadi mereka ingin mengalihkan seluruh perhatian dunia ke Gaza, daripada membicarakan apa tentang pembangunan permukiman mereka di tanah yang dirampas di Tepi Barat. Jadi, selama pendudukan ini terus terjadi, lingkaran kekerasan akan terus berulang. Mengapa mereka menyerang Gaza? Karena kita juga telah mencapai rekonsiliasi damai antara Hamas dan Fatah, kini, tidak ada pemisahan lagi di Palestina. Hanya ada 1 pemerintahan, 1 presiden, dan 1 institusi di Palestina, beserta berbagai partai politik, yang akan bersiap menghadapi pemilihan umum pada Januari untuk memilih anggota parlemen dan presiden. Kami mulai bersatu, dan ini yang tidak diterima oleh Israel, mereka ingin menyerang Gaza, dan mencoba menganggap Hamas berbeda sendiri , menciptakan perang antara Israel dan Hamas saja. Ini adalah perang antara pasukan Israel melawan seluruh Palestina, bukan hanya Hamas, dan bukan hanya Gaza”.

Mengapa “mereka” (Israel) menyerang Gaza?

Saya kira semua sudah tahu, bahwa serangan Israel ke Gaza adalah”serangan balasan”. Justru saya yang balik tanya: “Mengapa Hamas menyerang Israel?”

Apakah anda kira Israel akan “begitu saja menyerang” yang implikasinya akan mendapat kecaman dunia?

Kembali ke Tepi Barat:

“Umat muslim takkan membiarkan masjid Al Aqsa dibawah pendudukan. Ini adalah qiblat pertama bagi umat muslim, bahkan sebelum Mekkah. Ada Al Haram Ibrahimi di Hebron, ini situs Abraham. Ini adalah situs suci yang dimiliki oleh setiap muslim, termasuk di Indonesia. Jadi setiap ada serangan atas Palestina dan situs ini oleh Israel, tentu berdampak pada semua muslim di seluruh dunia. Saya ingatkan, satu fakta. OIC, yang merupakan Konferensi Negara Islam, dibentuk karena ada 1 atau 2 warga Israel yang menyebabkan kebakaran di masjid Al Aqsa, ini membakar perasaan seluruh umat muslim, hingga mendorong dibentuknya OIC. Jadi bayangkan betapa pentingnya ini bagi umat muslim”.

Ini agak melenceng dari kasus Gaza, tetapi saya memiliki tanggapan terhadap pendapat ini.

Apakah anda kira, Israel akan membiarkan Yerusalem dan situs-situs sucinya (tembok barat) di bawah “pendudukan asing” (Palestina atau Yordania)? Apakah anda kira umat Yahudi tidak memiliki religiusitas seperti orang Muslim? Yerusalem bukan sekedar “kiblat pertama” buat orang Yahudi, tapi juga yang terakhir dan satu-satunya. Sementara Muslim punya Mekkah, Yerusalem itulah satu-satunya milik Yahudi.

Itulah, kita tidak bisa egois. Kalo umat Islam merasa punya hak atas Yerusalem, begitupun Yahudi (juga Kristen). Makanya, dalam UN Partition 1947, Yerusalem ditetapkan sebagai “corpus separatum”, atau wilayah internasional yang tidak dimiliki oleh baik negara Yahudi maupun Arab. Ini cukup adil menurut saya, dan Yahudi MENERIMA USULAN SEPERTI ITU sebelum pihak Arab mengacaukannya.

Anda tahu nggak, bahwa selama Yerusalem timur diduduki Yordania dari 1949 s/d 1967, orang-orang Yahudi tidak diperbolehkan berdoa di tembok barat. Baru setelah Israel menduduki tepi barat pada 1967, mereka untuk pertama kalinya sejak 1948 bisa berdoa di tembok barat.

Kembali ke judul, “Apa yang tidak anda lihat di media tentang Gaza?”, bahwa hemat saya, sudah terlalu banyak yang kita lihat tentang Gaza melalui media khususnya di Indonesia. Justru yang saya sayangkan, masih banyak yang belum kita lihat di media tentang Israel.

Kita, khususnya orang Indonesia, tidak pernah disajikan konflik Israel-Palestina secara berimbang. Media selalu memiliki tendensi membela pihak Palestina. Asumsi saya, pertama, karena media berusaha memenuhi selera pemirsanya yang mayoritas muslim dengan menyajikan informasi-informasi “yang memang ingin didengar” oleh orang muslim. Kedua, media TAKUT dimusuhi oleh segmen pemirsanya karena memberitakan “yang positif” tentang Israel.

Terlepas dari apakah kita muslim atau bukan, apakah kita pro-Israel atau Palestina, kalau kita cerdas, kita akan menuntut media untuk menerapkan asas “cover both sides”. Sekian. []

Suasana di Depan Gedung MK Senin, 11 Agustus 2014

KARENA suatu keperluan, saya berada di sekitar Jakarta Pusat Senin kemarin. Sambil lalu, saya melewati Jl. Medan Merdeka Barat, di mana saat itu ada ratusan (bukan ribuan) massa yang berdemonstrasi dan berorasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, mengawal Sidang Gugatan Pilpres Prabowo-Hatta. Iseng punya iseng, saya mengeluarkan kamera dan mulai mengabadikan sekilas suasana di depan Gedung MK kemarin. Berikut adalah hasilnya.

Foto-foto oleh: Rinaldi

Suasana di depan Gedung MK.
Suasana di depan Gedung MK.
02
Pernyataan sikap.
Tameng dan helm polisi berjejer.
Tameng dan helm polisi berjejer.
04
Wajah-wajah pendukung Prabowo-Hatta dalam seragam ormas bergaya militer.
05
Pedagang woles.
06
Satuan K9.
07
Ehm..
08
Harapan yang mustahil.
11
Orasi berapi-api.
13
Kaos.
14
Juru kamera televisi di atas watercanon.
15
Yang sudah dapat makan siang.
Orasi penuh retorika.
Orasi penuh retorika.

Kolom Agama di KTP, Pentingkah?

Contoh KTP Jerman. Simpel, tidak ada kolom agama. Sumber: Wikipedia.
Contoh KTP Jerman. Simpel, tidak ada kolom agama. Sumber: Wikipedia.

Author: Rinaldi

TERUS terang, KTP saya “Islam”. Tapi, saya tidak meyakini barang sedikit pun akidah Islam. Sejak beberapa tahun yang lalu, saya memutuskan untuk murtad. Saya mendeskripsikan posisi saya sekarang ini sebagai “pemikir bebas”.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas soal benar-salahnya akidah Islam. Cerita di atas hanya latar belakang saja. Wacana yang akan saya angkat adalah mengenai pentingnya mencantumkan kolom agama pada kartu identitas.

Secara de facto, saya jelas bukan muslim. Namun secara de jure jelas saya muslim, sebagaimana tertulis pada kolom agama di KTP maupun Kartu Keluarga.

Tulisan ini bermula dari pengalaman pribadi yang demikian. Saya berpikir: Kalau begitu, apa arti dan tujuan dari kolom agama pada kartu identitas? Siapapun bisa menulis “Islam”, “Kristen”, “Hindu”, dan seterusnya di kartu identitas semata demi formalitas, tanpa harus terbeban meyakini sedikit pun akidah agama yang bersangkutan, atau terbeban untuk melakukan ritual ibadah agama yang bersangkutan.

Saya tidak sendiri. Beberapa teman saya menganut agama yang berbeda dari yang mereka cantumkan di KTP. Ada yang ber-KTP Buddha, tapi dalam prakteknya Kristen dan telah menikah secara Kristen. Begitu pun ada yang ber-KTP Kristen (Protestan) ternyata Katolik, dan seterusnya. Belum termasuk teman-teman sesama pemikir bebas yang ber-KTP Islam, Kristen, atau agama-agama lain.

Saya hanya bersikap pragmatis dengan tetap mencantumkan “Islam” di KTP. Memangnya bisa mencantumkan “pemikir bebas” di KTP? Kalau pun bisa, apakah ada jaminan keselamatan dan jaminan tidak dipersulit kalau mengurus ini-itu? Yang ber-KTP Kristen saja yang notabene “agama resmi”, bisa dipersulit apalagi “pemikir bebas”. Oleh sebab itu, ketika ada selentingan wacana penghapusan kolom agama di KTP, tanpa ragu saya setuju.

Betul, saya setuju dengan usulan bahwa sebaiknya kolom agama di KTP dihapuskan. Kenapa? Ada banyak sekali alasan. Salah satunya adalah karena kepenganutan terhadap agama merupakan urusan pribadi yang tidak ada relevansinya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepenganutan terhadap agama tidak bisa diverifikasi keakuratannya.

Coba, bagaimana anda memverifikasi bahwa seseorang yang ber-KTP Kristen dan telah dibaptis, adalah benar-benar seorang yang percaya sepenuhnya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat? Saya pun rela dibaptis dan mengucapkan serangkaian syahadat iman Kristen untuk kepentingan –misalnya—pernikahan. So what? Pragmatis saja. Nothing to lose buat saya.

Kita harus rasional. Buat saya, kolom “golongan darah” di KTP jauh lebih penting daripada kolom agama. Ironisnya, ini justru seringkali terlihat kosong! Kalau anda “kenapa-kenapa” di jalan dan dilarikan ke rumah sakit, mana yang lebih menyelamatkan nyawa anda: Informasi golongan darah atau informasi agama?

Mereka yang pro-penulisan kolom agama di KTP antara lain berpendapat, bahwa “penulisan agama” bertujuan untuk mengetahui statistik para penganut agama. Ini kembali kepada persoalan fundamental di atas; Siapa yang bisa menjamin atau alat canggih apa yang bisa dipakai untuk memverifikasi bahwa agama yang tertera di KTP seseorang adalah sama dengan agama aktual yang diimani oleh si pemegang KTP? Selama tidak ada yang bisa menjamin keakuratan agama tertulis dan agama aktual, maka statistik yang dibangun berdasarkan data kepenganutan agama melalui KTP menjadi tidak valid. Apalagi ditambah batasan menuliskan agama yang dianut menjadi hanya sebatas enam agama resmi saja. Jadi, seumpama saya penganut agama yang berjudul “Wel geduwel bleh”, tentu tidak bisa dicantumkan di KTP. Dan kalau pun dibuat statistiknya, paling banter agama semacam itu masuk kategori “lain-lain”, ya kan? Statistik macam apa itu?

Alih-alih bermanfaat, adanya kolom agama di KTP malah bisa jadi petaka. Dalam kerusuhan SARA di Ambon, gara-gara kolom agama di KTP, nyawa seseorang bisa melayang. Dan yang tak kalah menjengkelkan adalah potensi diskriminasi dalam birokrasi di Indonesia, di mana umat agama minoritas cenderung bisa dipersulit dan diperas.

Masyarakat harus diberi pemahaman, bahwa menghapus kolom agama di KTP tidak sama dengan mengapus agama atau memberangus hak sipil untuk beragama. Bahwa sesungguhnya, penghapusan kolom agama di KTP adalah wujud netralitas negara terhadap agama, di mana negara mengakomodir semua jenis agama dan kepercayaan, termasuk mereka yang memutuskan untuk tidak menganut suatu agama apapun. Bahwa menganut agama atau tidak menganut agama, adalah urusan pribadi yang bersangkutan dan bukan bagian dari identitas resmi negara.

Bahwa pada dasarnya, tiap individu adalah bebas dan setara. Negara bertindak sebagai wasit yang melindungi hak sipil masyarakat baik untuk beragama maupun tidak beragama. Apa sih susahnya? Apa yang ditakutkan? []

Aksi Boko Haram dan Sikap Standar Ganda Umat Islam dalam Merespon Isu-Isu Kemanusiaan

Global protests: Demonstrators yelled Friday in London, showing a play on words that reverses the meaning of Boko Haram -- 'Western education is permitted; Terror is sinful,' it reads. Photo: AP
Global protests: Demonstrators yelled Friday in London, showing a play on words that reverses the meaning of Boko Haram — ‘Western education is permitted; Terror is sinful,’ it reads. Photo: AP

Author: Rinaldi

DARI kemarin, banyak sliwar-sliwer berita di timeline FB saya, kelompok Boko Haram, organisasi bernafaskan Islam asal Nigeria yang paham ideologinya bersifat teroristik pimpinan Abubakar Shekau, menculik 200-an siswi sekolah untuk dijual sebagai budak. Kelompok teroris ini dikenal sangat anti terhadap pendidikan bagi perempuan.

Dalam tulisan singkat ini, saya nggak tertarik untuk membahas kekejaman Boko Haram. Juga nggak tertarik untuk memperdebatkan apa dan bagaimana ajaran Islam itu sebenarnya.

Saya juga nggak merasa perlu ngasih link beritanya. Tinggal cek google, banyak kokwong lagi rame.

Yang saya herman, saya belum pernah dengar ada ormas-ormas Islam berdemo,long-march berpanas-panasan mengecam aksi organisasi Boko Haram yang jelas-jelas dengan membawa label “Islam”, merampas hak-hak sipil perempuan untuk bersekolah dan malah akan menjadikan mereka sebagai budak.

Saya berpikir, seandainya pelakunya Israel dan korbannya pelajar muslimah Palestina,wah, pasti sudah ramai tuh Bundaran HI dan kedubes Amerika.

Ada apa dengan ormas-ormas Islam? Kenapa mereka cenderung tutup mata ketika pelaku kejahatan adalah saudara seiman mereka sendiri? Kenapa suara protes mereka terhadap aksi brutal Boko Haram, kalaupun ada, tidak sekencang protes mereka ketika Israel akan membangun pemukiman Yahudi di Tepi Barat atau ketika Israel melakukan serangan balasan ke Gaza yang menewaskan sekian warga sipil Palestina?

Hemat saya, sesungguhnya yang jadi masalah bukan Boko Haram-nya. Tapi sikap standar ganda umat Islam dalam merespon isu-isu kemanusiaan di dunia. []

Kasus Dinda dan Kemunafikan Orang-orang Indonesia

Screenshot akun Dinda. Sumber: Solopos.com
Screenshot akun Dinda. Sumber: Solopos.com

Author: Rinaldi

BEBERAPA hari lalu, publik Indonesia dikejutkan oleh Dinda, seorang perempuan muda yang melalui akun Path-nya mengekspresikan kekesalan terhadap ibu-ibu hamil yang meminta tempat duduk di KRL. Screenshot tulisan Dinda kemudian menyebar, dan tentu saja menuai kecaman publik di berbagai jejaring sosial. Beberapa portal berita online bahkan sampai menurunkan beritanya.

Sebagai pengguna angkutan umum, termasuk KRL, saya tidak ikut-ikutan membully Dinda. Karena saya sadar, dia cuma menuliskan apa yang dirasakannya, yang mungkin dirasakan juga oleh banyak orang pengguna angkutan umum seperti KRL.

Kalau kita mau jujur, sebenarnya yang punya perasaan seperti Dinda itu banyak. Apalagi di masyarakat Jakarta atau sub-urban yang tiap hari harus berebut naik bis kota, KRL atau terjebak kemacetan panjang. Hanya saja mereka tidak blak-blakan mengungkapkan isi hatinya dengan jujur di jejaring sosial. Entah tidak berani, tidak punya jejaring sosial, atau sekedar “jaga image” supaya tidak dibilang bejat.

Inilah “penyakit” yang tampaknya sudah menjadi karakteristik umum masyarakat Indonesia. “Penyakit” tersebut bukan “tidak punya empati”, bukan “tidak peduli terhadap sesama”, tetapi kemunafikan.

Saya tidak secara spesifik membahas soal “ibu-ibu hamil” dalam kasus Dinda. Ini menyangkut masalah yang lebih luas, yaitu kemunafikan.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang senang berpura-pura; Pura-pura ramah, pura-pura toleran, pura-pura berbudaya tinggi, pura-pura agamis, pura-pura santun dan bermoral. Nah, begitu ada satu-dua orang yang secara apa adanya mengungkapkan isi hatinya, publik kalap dan membombardir orang tersebut dengan berbagai kuliah moral. Padahal, publik yang menghakiminya belum tentu lebih baik dari orang tersebut. Mereka hanya tidak blak-blakan mengekspresikan isi kepala mereka seperti Dinda.

Begitu screenshot Dinda mencuat, mendadak publik Indonesia jadi tampak bermoral dan memiliki empati. Ramai-ramai menghujat dan menguliahi Dinda dengan berbagai materi etika dan moral. Tapi, boleh jadi mereka yang mendadak bermoral itu masih suka buang sampah sembarangan. Dalam mengendarai motor masih suka menyerobot trotoar ketika jalan macet yang mengganggu pejalan kaki. Masih suka berhenti di zebra cross atauberhenti jauh melebihi garis stop di lampu merah yang jelas mengganggu penyebrang jalan.Masih suka nerobos jalur busway di jalan. Egois dan tidak peduli dengan pengguna jalan lain. Masih suka nyogok petugas kalau ditilang. Mereka juga mungkin diam saja ketika mengetahui ada teman atau saudara mereka yang nyogok untuk bisa masuk PNS atau Polisi. Hal-hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah di Indonesia, yang terjadi setiap waktu dan tidak ada laskar sok moral yang membully. Dinda hanya sial saja, karena dia jujur mengungkapkan isi hatinya.

Bayangkan, seandainya ada yang dengan jujur menyatakan di muka publik bahwa “kalau mau mudah masuk PNS, nyogok saja”, pasti dia juga akan dibully habis-habisan. Padahal itulah kenyataan yang terjadi tiap waktu. Masyarakat ramai-ramai menghujat institusi dan pejabat korup, tapi banyak dari mereka lebih memilih “jalan damai” ketika ditilang polisi alih-alih membayar denda secara fair.

Contoh lagi, waktu kasus video asusila Ariel dan Cut Tari mencuat, Metro TV pernah mengangkat issue tersebut dalam acara “Suara Anda” secara live yang kalau tidak salah dipandu Fifi Aleyda Yahya. Pada satu sesi, host bertanya pada audience, kurang lebih begini, “siapa di antara kalian yang sudah menyaksikan video asusila tersebut?” Audience diam, tidak ada yang angkat tangan.

Bohong kalau dari sekian puluh audience yang kebanyakan anak muda,  pada belum pernah menyaksikan video asusila yang tengah populer tersebut. Kenapa mereka tidak ada yang angkat tangan? Mereka malu dan takut dihakimi “tidak bermoral” hanya karena menyatakan diri pernah menonton video tersebut.

Atas video asusila tersebut, publik Indonesia menghujat Ariel. Dia dianggap pezinah yang tidak bermoral. Tapi pada saat bersamaan, videonya laris manis berkelana dari HP ke HP via bluetooth. Itulah gambaran kecil masyarakat Indonesia yang munafik; Pelaku tindakan asusila dihujat, tapi diam-diam videonya dicari.

Tampaknya begitulah karakteristik alamiah orang-orang Indonesia. Di muka publik berusaha tampak normatif, santun dan berperikemanusiaan, namun di belakang bisa lain sikapnya. Persis mahasiswa yang dalam berbagai demonstrasi teriak-teriak membela rakyat dan mengecam pelanggaran HAM, tapi pas ngospek bisa matiin orang juga. []

Masih Didominasi Partai-partai Sekuler-Nasionalis, Islamisme ala PKS Tak Begitu Diminati di Indonesia

Karena tak ada pilihan, akhirnya saya memutuskan untuk golput. Foto: Rinaldi
Karena tak ada pilihan, akhirnya saya memutuskan untuk golput. Foto: Rinaldi

Author: Rinaldi

DIBANDINGKAN partai-partai lain, perolehan suara PDIP menurut hasil quick count sementara pada pemilu legislatif 2014 kemarin cukup tinggi. Partai-partai berhaluan kanan seperti PKS, bahkan tak masuk lima besar. Secara umum, partai-partai bernafaskan Islam tak pernah dengan telak memenangkan pemilu di Indonesia.

Terlepas dari soal “Jokowi effect”, besarnya perolehan suara PDIP tersebut menunjukkan kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai ideologi nasionalis-sekuler ketimbang Islamisme. Meski berpenduduk muslim terbesar di dunia, ideologi-ideologi Islamis tak begitu laku di Indonesia.

Kelebihan partai-partai berhaluan kanan seperti PKS adalah mereka memiliki massa yang militan. Dengan itu, PKS mudah menghimpun massa dalam jumlah besar untuk demonstrasi atau kampanye. Karena itulah PKS kelihatan solid dan “massive”, namun pada hakikatnya mereka minoritas.

Kelebihan tersebut tampaknya sekaligus menjadi kekurangan PKS. Karena dengan karakteristik massa yang militan, PKS terlihat eksklusif. Hanya orang-orang Islam aliran tertentu, yang jumlahnya sedikit, yang setia dengan PKS. Sisanya hanyalah suara-suara “swing voters”; Kali ini nyoblos PKS, pemilu depan belum tentu. Buktinya, meski pernah memenangkan suara di Propinsi DKI pada pileg 2009, pada pilgub DKI 2012 calon dari PKS, Hidayat Nur Wahid, kalah suara sampai-sampai tak lolos putaran kedua. Pemenang pilgub DKI 2012 justru tokoh yang berhaluan nasionalis-sekuler plus seorang Cina-Kristen. Tampaknya, suara-suara pemilih militan PKS tak cukup kuat untuk mendukung cagub yang diusung PKS pada pilgub DKI 2012 lalu. []

Aksi Bela Satinah dan Standar Ganda Publik Indonesia

Most of Indonesian are hypocrites.
Most of Indonesian are hypocrites.

Author: Rinaldi

TIDAK semua TKI yang terjerat hukuman di luar negeri patut dibela. Adakalanya mereka memang bersalah dan layak mendapat hukuman menurut standar hukum setempat.

Belakangan terakhir, Indonesia dihebohkan oleh kasus Satinah. TKW asal Indonesia ini divonis bersalah oleh pengadilan Kerajaan Saudi Arabia atas tuduhan pembunuhan dan pencurian. Berdasarkan sumber Tempo, Satinah telah mengakui membunuh majikannya dan mencuri uang sebesar 37,970 Riyal atau sekitar Rp.119 juta. Hukuman pancung Satinah akan dibatalkan apabila pihak Satinah membayar uang tebusan atau diyat senilai kurang lebih 21 milyar rupiah.

Ancaman hukum pancung Satinah menuai reaksi dari publik Indonesia. Banyak pihak mengecam Kerajaan Saudi dan menuntut pemerintah untuk berupaya membebaskan Satinah dari hukuman pancung. Aksi galang dana pun digelar. Entah sudah berapa milyar yang terkumpul dan entah siapa saja yang telah menyumbangkan uang.

Aksi “mendadak simpati” ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, antara lain: Apa yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat Indonesia dengan bebasnya Satinah –yang telah terbukti secara sah membunuh dan mencuri- dari hukuman pancung di Saudi Arabia?

Kita bandingkan dengan kasus Corby. Waktu Corby tertangkap di Bandara Ngurah Rai dengan 4.2 kilogram ganja di tasnya, dia langsung diproses, diadili, dan akhirnya divonis 20 tahun penjara. Keluarga Corby dan masyarakat Australia protes. Bahkan mereka membuat petisi untuk kebebasan Corby. Mereka memiliki praduga bahwa Corby dijebak. Mereka memandang Corby tidak bersalah dan tidak layak mendapatkan hukuman itu. Tetapi opini publik Indonesia pada waktu itu cenderung mengatakan “hormati dong proses dan ketentuan hukum di Indonesia”.

Kenapa orang Indonesia tidak bisa mengatakan hal yang sama dalam kasus Satinah dengan mengatakan “hormati dong ketentuan dan keputusan hukum Saudi Arabia?”

Apakah Corby bersalah? Menurut perspektif masyarakat Australia, dia tidak bersalah. Atau sekurangnya ada unsur-unsur ketidakadilan dalam kasus Corby. Tapi menurut perspektif masyarakat Indonesia, Corby bersalah. Seharusnya masyarakat Australia termasuk keluarga Corby menghormati proses dan ketentuan hukum di Indonesia. Waktu Corby diberi bebas bersyarat beberapa waktu lalu, publik Indonesia mengecam pemerintah yang dinilai “tidak tegas” dalam menghadapi penyelundup narkoba asal Australia.

Apakah Satinah bersalah? Menurut perspektif masyarakat Indonesia, dia tidak bersalah. Atau sekurangnya ada unsur-unsur ketidakadilan dalam kasus Satinah. Tapi bagaimana menurut perspektif pemerintah dan publik Saudi, terutama keluarga korban? Tentu kurang lebih mereka akan mengatakan hal yang sama dengan apa yang dikatakan publik Indonesia dalam kasus Corby; “hormati dong proses dan ketentuan hukum di Saudi”.

Di sinilah standar ganda masyarakat Indonesia kelihatan. Pada kasus Corby, mereka setuju Corby dihukum. Bahkan mereka memprotes kebijakan pemerintah yang memberikan kebebasan bersyarat pada Corby. Masyarakat Indonesia berpandangan bahwa pihak Australia harus menghormati proses dan ketentuan hukum di Indonesia.

Tetapi pada kasus Satinah, masyarakat Indonesia berkata lain; Mereka berpandangan bahwa pemerintah harus melakukan negosiasi dengan Kerajaan Saudi agar Satinah bisa lolos dari hukuman pancung. Sebagian malah mengecam Saudi dan menuduh vonis matinya tidak adil.

Kenapa masyarakat Indonesia tidak menghormati proses dan ketentuan hukum Saudi Arabia, sebagaimana mereka menuntut Corby/Australia untuk menghormati proses dan ketentuan hukum Indonesia?

Kalo anda bisa berasumsi bahwa pengadilan Saudi tidak adil terhadap Satinah, kenapa anda berpikir bahwa pengadilan Indonesia telah berlaku adil terhadap Corby?

Pada akhirnya, simpati dan pembelaan masyarakat Indonesia terhadap Satinah, pembunuh dan pencuri uang majikannya, sama posisinya dengan pembelaan warga Australia terhadap penyelundup narkoba asal Australia, Schapelle Corby.

Indonesia bangsa munafik dan gemar berstandar ganda. []

Penembakan di Nairobi: Islam dan Terorisme

Author: Rinaldi

Pengunjung mall di Nairobi, Kenya, berlarian ke luar menghindari tembak-menembak antara teroris dan polisi. Foto: EPA/Daily Mail
Pengunjung mall di Nairobi, Kenya, berlarian ke luar menghindari tembak-menembak antara teroris dan polisi. Foto: EPA/Daily Mail

SEKELOMPOK teroris di Nairobi, Kenya, menyerang sebuah mall. Sasaran mereka adalah pengunjung non-Muslim. Sedikitnya 39 orang tewas dalam tragedi tersebut.

Sebagaimana disebut Daily Mail, grup teroris Somalia Al-Shabaab yang memiliki jaringan dengan Al-Qaeda telah mengklaim bertanggungjawab atas penyerangan di mall tersebut. Mereka mengeluarkan pernyataan bahwa aksi tersebut merupakan peringatan untuk pemerintah Kenya agar menarik mundur pasukannya di Somalia.

Dalam tragedi teror semacam ini, publik Indonesia sepertinya takut dan ragu menuding “Islam”. Kita takut terjebak pada isu SARA dan terbuai dengan ilusi “islam agama damai”. Kita takut dicap “anti-Islam”. Kita takut dimusuhi oleh teman-teman Muslim kita.

Padahal, “ketakutan” itulah yang menyebabkan ideologi teror berlandaskan agama merajalela.

Selama ini, kita hanya “dipersilakan” menyalahkan kelompok radikal Islam. Bukan teks-teks Islam yang mendasari perbuatan mereka. Kita dipaksa mengakui bahwa pelaku tersebut adalah “oknum”, bukan representasi dari Islam.

Padahal, saya kira sebutan  itu tidak berlebihan. Ajaran Islam pantas dituding atas sejumlah aksi-aksi teror kelompok Muslim radikal. Sebagaimana kita tahu, grup teroris yang memiliki landasan ideologi Islam jelas memiliki dalil-dalil Al Quran yang menjustifikasi perbuatannya.

Tanggapan standar Muslim Indonesia pasti mengatakan, “itu ‘kan oknum-oknumnya saja, bukan Islamnya yang salah”. Kalimat “bukan Islamnya yang salah” adalah kalimat pembelaan diri yang klise. Sudah terlalu sering saya mendengar kalimat itu, sesering saya mendengar ada orang membunuh dan mengacau atas dasar ajaran Islam.

Jika ada individu yang setelah nonton video porno lantas memperkosa orang, kalian menyalahkan video porno sebagai “biang” dari pelecehan seksual. Jika gara-gara rok mini seorang perempuan diperkosa, kalian menyalahkan rok mini. Nah, jika ada Muslim yang setelah membaca dan memahami teks-teks Islam kemudian terinspirasi melakukan perbuatan-perbuatan teror, kenapa kalian tidak menyalahkan teks-teks Islam yang menginspirasi mereka?

Memang, tidak semua Muslim yang setelah membaca dan memahami teks-teks Islam menjadi teroris. Sama halnya, tidak semua individu yang setelah nonton film porno memperkosa orang. Tapi, kalian tetap menyalahkan pornografi sebagai “biang” dari pelecehan seksual kan? Kenapa kalian tidak berpikir dengan logika yang sama untuk Islam?

Jika anda, Muslim, mengutuk aksi teror tersebut dan menganggap pelakunya “tidak merepresentasikan Islam”, saya tanya: Apakah anda sendiri merasa merepresentasikan Islam, sehingga anda bisa berkata seperti itu? Apakah anda bisa tunjuk satu saja individu atau institusi yang benar-benar representasi sah dari “Islam” yang diakui oleh seluruh umat Islam, sehingga siapapun bisa menilai Islam darinya?

Apakah Sunni atau Syiah? Apakah Al-Qaeda, Hizbullah atau Ikhwanul Muslimin? Apakah NU atau Muhammadiyah? Apakah Nurcholish Madjid atau Abu Bakar Baasyir? Gus Dur atau Habib Rizieq? Syafii Ma’arif atau Muhammad Al-Khaththath?

Anda boleh mengatakan bahwa Al-Qaeda tidak merepresentasikan ajaran Islam. Dan mereka pun juga tidak menganggap anda sebagai representasi Islam.

Saya rasa di dunia ini tidak ada satu individu atau satu institusi apapun yang dianggap secara sah merepresentasikan Islam dan diakui oleh seluruh Muslim di dunia. Karena Islam dipahami secara beragam oleh penganutnya. Dan adalah sebuah fakta bahwa teks-teks Islam yang sangat berpotensi untuk ditafsirkan secara “keras” dan teroristik, ada.

“Berpotensi ditafsirkan keras”, itu kata kuncinya.

Anda-anda Muslim di sini, mungkin tidak salah dengan konsep Islam yang damai dan toleran. Tetapi mereka juga belum tentu salah dengan konsep Islam yang teroristik dan bringas. Karena itu, janganlah mudah menghakimi bahwa kelompok-kelompok Islam bringas itu “tidak merepresentasikan Islam”. Karena, mereka pun juga tidak menganggap anda, Muslim yang damai dan toleran, sebagai representasi sah dari ajaran Islam. Anda punya dalil Al Quran, mereka pun demikian.

Saya tidak peduli dengan perdebatan teologis antara “Muslim damai” dan “Muslim bringas”.Yang jelas, jika Islam ingin diterima secara wajar dan terhormat di era modern, bagian-bagian tertentu dari ajaran Islam yang berpotensi ditafsirkan secara keras harus dihilangkan.

Film saja ada badan sensornya, masa untuk agama tidak? []