Sulitnya berinteraksi dengan kelompok fundamentalis

Oleh Rinaldi

“If a secular law failed, then blame the law. When Islamic law fails, blame the stupid human behind the law who cannot carry out Divine Will. I certainly disagree with these propositions; however, this is what some Indonesian Muslims believe.” (Arif Maftuhin, Dosen UIN Jogja)

 

Kelompok bebal di Indonesia.

TANPA bermaksud menggeneralisir, tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman nyata penulis berdiskusi via mailinglist dan forum diskusi onlineclash of civilization, Daulah Islamiyah, HAM, demokrasi, kemanusiaan, dan sebagainya yang dikaitkan dengan kondisi aktual. dengan kelompok fundamentalis sekian lama. Topik-topik yang dibicarakan umumnya seputar

Salah satu sisi manusiawi yang tumpul pada rata-rata kelompok fundamentalis adalah kemampuan berdialog secara sportif dan logis dengan kelompok yang berseberangan paham dengan mereka. Sebagai contoh, dalam berdiskusi dan beradu opini di mailinglist, postingan-postingan mereka pada umumnya selalu menjengkelkan, karena hampir tanpa elaborasi rasional. Mereka juga cenderung emosional dan suka mengobral penghakiman teologis; seperti “sesat”, “kafir”, “iblis”, “laknatullah”, dan sebagainya. Juga paling suka mengobral theological advice, seperti “bertobatlah”, dan sebagainya ketimbang elaborasi rasional atas ide-ide mereka. Pada beberapa kasus, kekerasan verbal yang mengarah pada vandalisme dan anarkisme kerap kali dikumandangkan; seperti “bakar”, “bunuh”, “hancurkan”, dan sebagainya. Silakan search di Youtube dengan kata kunci Sobri Lubis, anda akan menemukan khotbah beliau yang terang-terangan memerintahkan “bunuh” terhadap setiap pengikut Ahmadiyah.

Apa sih yang membuat mereka begitu? Jelas ini soal kepercayaan, “theological believe”. Tapi, banyak orang beriman dan beragama tidak seperti mereka. Lantas, di mana bedanya? Bedanya adalah pada dosis. Banyak orang minum obat dan sembuh, karena mereka minum pada dosis yang tepat. Sementara banyak orang lainnya alergi, mual-mual, bahkan meninggal. Atau banyak juga yang setelah diminum, tidak ada reaksi apa-apa, padahal merknya sama. Itu karena mereka tidak meminumnya sesuai dosis yang tepat. Ada yang over dosis, dan ada yang “under dosis”. Dalam perspektif Buddhis, “dosis yang tepat” adalah “jalan tengah”, sesuatu yang tidak kurang dan tidak lebih. Ini “rumus universal” meraih keharmonisan. Inilah yang tidak dipahami oleh kelompok fundamentalis-radikal, mereka memilih “meminum agama” beberapa kali lipat dari dosis yang aman, dan mereka pikir itu baik. Hasilnya? Ekstrimisme.

Bila dicermati, rata-rata kelompok fundamentalis memiliki pola pikir yang “khas”. Ini terlihat dalam berbagai pernyataan yang dilontarkannya, dan khususnya dalam berdiskusi. Adapun kekhasan pola pikir itu akan dijelaskan dalam point-point berikut:

1. Dalam mengelaborasi ide-idenya, mereka tidak menggunakan rational appeal, tetapi “kepercayaan” (theological believe). Ini melahirkan sikap-sikap apriori terhadap ide-ide lain. Mereka bisa menolak sebuah ide hanya karena ide itu “tidak diajarkan agama mereka”, alih-alih melontarkan argumen/bantahan rasional. (Dalam adu argumen, melibatkan unsur theological believe adalah sebuah fallacy, karena itu bersifat subjektif dan tidak terukur). Contoh faktual adalah pada perdebatan mengenai Ahmadiyah beberapa waktu lalu.

2. Selalu menyalahkan pihak luar, dalam hal ini adalah barat, khususnya Amerika dan Yahudi, untuk semua keterpurukan yang dialami Muslimin. Jarang mereka introspeksi diri dan melihat ke dalam serta memberi otokritik. (Otokritik sering dilakukan kelompok progresif seperti JIL, namun hampir tidak pernah dilakukan kelompok radikal. Ketidakmauan memberi otokritik telah dikritik oleh Irshad Manji, penulis Muslim yang menulis buku “Beriman Tanpa Rasa Takut”).

3. Sempit. Seringkali memaknai kata “jihad” sebagai “perang fisik” terhadap orang kafir yang memusuhi Muslimin (liciknya, istilah itu tidak dipakai untuk kasus di mana umat Muslim membantai saudaranya di Sudan dan Somalia. Baca tulisan saya.). “Jihad” artinya berjuang di jalan Allah, banyak cara dan luas maknanya. Sementara padanan kata “perang” dalam bahasa Arab adalah Qital. Membantu korban banjir, kampanye anti korupsi, rehabilitasi pecandu narkoba, bagi mereka bukan “jihad”. Tapi membunuh orang kafir yang memerangi Muslimin, adalah jihad.

4. Cenderung memahami ajaran agama secara tekstual, dan bukan kontekstual.

5. Rasa kemanusiaan yang cenderung terbatas khususnya pada “saudara seiman” yang dibantai kaum kafir saja. Dalam kasus Muslimin terbunuh di Palestina oleh tentara Israel, mereka berang. Tapi puluhan biksu-biksu dibantai di Myanmar, mereka diam saja. Perang Irak-Iran (antara Sunni-Syiah) sepanjang 80-an menelan jutaan Muslim, terutama warga sipil, karena “sesama Muslim”, mereka kurang bereaksi. Dan entah sudah berapa juta orang tewas di Sudan akibat perang saudara \ yang sudah berlangsung bertahun-tahun, tak ada reaksi berarti dari kelompok Islam keras. Oleh karena itu, menurut Prof. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, boleh jadi korban jiwa akibat perang saudara sesama Muslim sepanjang abad di timur-tengah dan Afrika sebenarnya jauh lebih banyak daripada korban jiwa Muslim akibat perang dengan “kaum kafir”, yaitu AS dan Israel.

6. Keyakinan yang berlebihan terhadap agama sehingga memunculkan sikap arogan, paling benar, paling mulia, superior, dan merasa berhak menguasai dunia. Inilah sebab mereka tidak suka ide kesetaraan derajat (egality), karena arogansi dan rasa paling mulia di antara umat lain. Bila mereka mayoritas, mereka berniat memaksakan “aturan agama” ke ruang publik. Bila minoritas, mereka berniat memisahkan diri seperti terjadi di India, Thailand selatan, dan Filipina. Atau paling halus, sebentuk “otonomi khusus”. Umat lain dipandang sebagai “musuh” yang inferior sebelum mereka tunduk di bawah ideologi Islam dan berstatus “dhimmi”.

7. Anti kritik, dan oleh karenanya mereka juga anti kebebasan berpendapat. Karena mereka merasa sebagai “wakil dari sebuah agama yang mulia”, maka kritik terhadap kebijakan mereka dianggap kritik terhadap agama. Dan kritik terhadap agama seringkali dipandang sebagai penistaan agama. Tapi, karena mereka merasa berada dalam keyakinan yang paling benar, maka kritik mereka terhadap agama lain tidak dipandang sebagai penistaan agama, melainkan “syiar kebenaran” yang tidak boleh diganggu gugat. Barangsiapa yang mempersoalkan kekritisan mereka terhadap agama lain, dianggap menggugat syiar kebenaran.

8. Selalu memposisikan umat Muslim sebagai “umat yang tertindas” dalam peradaban dunia. Dan yang menindas itu digambarkan adalah orang kafir. Modus “umat tertindas” ini adalah propaganda klasik yang juga digunakan orang Yahudi sebagai justifikasi mereka membangun negara Israel. Modus ini “enak digunakan” karena bersifat sentimentil dan sangat provokatif, membangkitkan rasa persatuan dan semangat perlawanan terhadap yang menindas karena perasaan “tertindas” itu.

9. Pada level kroco di internet, mereka lebih suka copy-paste artikel yang sepaham daripada menulis opininya sendiri untuk mengisi blognya, atau dikirimnya ke sebuah mailinglist.

10. Provokasi dengan mengutip fakta di luar konteks. Terutama fakta yang disajikan dalam foto. Mereka tidak menuliskan caption foto sesuai standar jurnalistik (5W +1H) melainkan kata-kata provokatif, seperti: “lihatlah apa yang mereka lakukan terhadap kaum Muslimin” yang disematkan pada gambar Masjid yang luluh lantak akibat perang, atau foto korban-korban Muslim yang tewas, atau penyiksaan tawanan Muslim. Kalau caranya begitu, lawan mereka dengan mudah dapat melakukan hal yang sama, contohnya film “Fitna” yang dibuat Geert Wilders. Tapi mereka menghujat Wilders karena perbuatannya.

Demikian pola pikir “khas” kaum fundamentalis berdasarkan pengalaman nyata penulis berdiskusi. []