“Roti” Demokrasi: Dinajiskan, Tapi Dijilat Juga

Oleh Rinaldi

Massa FPI ngamuk dalam insiden kekerasan di Monas. Foto: Google.com

 

INILAH fenomena yang nyata-nyata terjadi pada tokoh-tokoh “mujahidin”, khususnya di Indonesia. Dengan keyakinan yang teguh akan ideologi Islam, mereka menolak demokrasi dan menajiskannya. Dalam keyakinan mereka, demokrasi adalah ideologi thagut “buatan manusia”, yang bersifat kafir lagi sesat dan menyesatkan. Tidak membawa manfaat apa-apa selain kerusakan di muka bumi, dan harus segera digantikan dengan yang mereka sebut “sistem Tuhan” yang “lebih benar”.

Ada satu hal yang kurang disadari (atau kurang disyukuri) oleh kelompok-kelompok jumud macam mereka, yaitu bahwa aktivitas ideologis mereka sebagaimana dipropagandakan melalui selebaran-selebaran, website, atau ceramah-ceramah, dapat berlangsung aman dan bebas justru akibat iklim demokratis yang ada di Indonesia, khususnya pasca tumbangnya rezim Soeharto. Tanpa adanya iklim demokratis yang bebas, mustahil mereka bisa melakukan propaganda seperti itu.

Adalah sebuah fakta bahwa organisasi internasional pengusung Khilafah yang sangat anti demokrasi, yaitu Hizbut Tahrir, dapat eksis dan berkembang justru di negara-negara pengusung demokrasi, yang kebanyakan adalah negara-negara barat. Di timur tengah sendiri, apalagi Arab Saudi, organisasi ini adalah terlarang. Tak terkecuali di negeri asalnya, Mesir. Di Indonesia pun, organisasi ini baru berani unjuk gigi setelah tumbangnya rezim Soeharto pada 1998.

Fauzan Al-Anshori dalam wawancaranya dengan majalah Syir’ah edisi April 2004, pernah menyatakan bahwa meskipun menurutnya demokrasi itu “kafir dan najis”, tapi ia mengakui masih ada manfaatnya, yaitu adanya kebebasan berbicara. Pernyataan apa yang lebih memalukan dari pernyataan Fauzan tersebut?

Parahnya, walau sudah mencecap nikmatnya kebebasan berbicara, seringkali kelompok sejenis  ini tidak mau menghargai hak orang untuk melakukan hal yang sama, yakni bebas berbicara. Contoh kecil tahun 2003, Ulil Abshar Abdalla difatwa mati oleh Forum Ulama Umat Islam Bandung hanya karena sebuah artikel yang ia tulis di harian Kompas. Fatwa itu menuai protes, dan akhirnya pun dicabut kembali. Tetapi pokok masalahnya, adanya keberanian memberi fatwa semacam itu kepada seseorang atas buah pikirnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok Islamist pada dasarnya memang tak menyukai kebebasan berbicara, kecuali untuk kelompoknya sendiri atau orang-orang yang memang sepaham.

“Kebebasan berbicara” adalah bagian dari demokrasi. Jika Fauzan merasa bahwa ia mencatut keuntungan dari “bagian ideologi kafir” tersebut, bukankah sama dengan ia menjilat dan mencecap nikmatnya daging babi? Bukankah jika jelas “najis”, maka seharusnya ia tidak mencecap sedikitpun dari “barang najis” tersebut? Tetapi nampaknya orang macam Fauzan akan terus menggeluti paradoks ini dalam pemikirannya: bahwa kampanye sebuah ideologi yang “menajiskan demokrasi”, tetap akan selalu membutuhkan iklim yang demokratis. []

2 thoughts on ““Roti” Demokrasi: Dinajiskan, Tapi Dijilat Juga

  1. Maaf sebelumnya saya kembali mengisi room komentar ini,,,cuma satu kalimat,kebebasan mengkritisi ada di dunia (mungkin) lebih dahulu dari munculnya demokrasi.
    Tambahan: lihat dulu substansi masalah kenapa Ulil Abshar Abdala dijatuhi fatwa demikian

  2. Mengenai “substansi masalah” dalam kasus Ulil, saya sudah paham kok. Saya punya draft artikelnya, bahkan hapal tanggal tayangnya di Kompas, yakni 18 November 2002.

    Artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Yang menarik, di situ Ulil memberi ilustrasi cara memandang agama (Islam), yang tidak sebagai patung monumen yang agung namun statis, melainkan seperti sebuah organisme hidup yang terus berubah dan berkembang.

    FYI, belakangan, fatwa mati dari FUUI dicabut kembali. Mungkin FUUI sudah sadar kali, ehehehehe…

Leave a comment