Tifatul Sembiring dan “logika” Post Hoc Ergo Propter Hoc

“Sesungguhnya ada korelasi langsung atau tak langsung, ada hubungan yang kuat antara musibah fisik dengan musibah moral atau akhlak manusia.

Sering terjadi bencana, sebab akhlak manusia yang telah rusak. Terlalu banyak berbuat maksiyat dan melawan kepada Allah swt.” (Penggalan Khutbah Ied Tifatul Sembiring)

Tifatul Sembiring.

Tifatul Sembiring.

Author Rinaldi

JIKA yang mengucapkan khutbah Ied di atas hanyalah seorang ustadz di pelosok desa, media internasional sekelas BBC boleh jadi tak akan tertarik memuat beritanya.  Tetapi “sayangnya”, dalam kejadian waktu itu, yang berkhutbah adalah Tifatul Sembiring. Tokoh nasional yang dikenal berpendidikan, menjabat pula sebagai Menkominfo. Khutbahnya pun tidak di pelosok, tapi di lapangan kantor Gubernur Sumbar, di kota Padang.  Seorang tokoh nasional, berkhutbah di lokasi penting di kota Padang, diliput berbagai media, sudah tentu slip lidah sedikit akan berakibat fatal. Semisal menjadi bahan ejekan di facebook dan twitter.

Tetapi, apakah benar, yang diucapkan Tifatul Sembiring di atas semata “slip lidah”, ataukah itu memang cerminan alur pikir beliau yang “fanatik agama”? Saya tidak tahu. Yang jelas, terlepas dari siapa yang mengucapkan, bahwa mengatakan pornografi dan imoralitas sebagai penyebab dari rentetan bencana alam di Sumatera (khususnya) adalah sebuah kekeliruan logika yang teramat konyol.

Post hoc ergo propter hoc fallacy

Pada khutbah Ied lalu, Pak Tifatul membuat pernyataan kontroversial yang oleh sebagian orang dipandang melecehkan korban gempa. Yaitu anggapan bahwa pornografi dan imoralitas adalah penyebab terjadinya rentetan bencana alam. Anda yang kurang sensitif, mungkin tak ambil pusing dengan pernyataan Pak Tifatul tersebut. Tetapi bagi sebagian orang, pernyataan tersebut dipandang melecehkan korban gempa. Karena dengan demikian, seolah para korban gempa dan masyarakat Padang umumnya adalah “biang maksiat”, yang oleh karenanya Tuhan menurunkan azabnya berupa bencana alam.

Namun, tulisan ini tidak hendak menyoroti aspek itu. Kritik yang ingin saya angkat adalah kekeliruan logika yang dilakukan Tifatul. Benarkah gempa di Padang dan rentetan bencana alam yang terjadi sebelumnya, merupakan akibat dari maraknya pornografi dan imoralitas di nusantara?

Jika kita telaah, logika Pak Tifatul dalam Khutbah Ied lalu kurang lebih demikian:  1) adalah sebuah fakta bahwa pornografi dan imoralitas kian gencar di bumi nusantara. 2) adalah sebuah fakta bahwa gempa di Padang, juga tsunami di Aceh telah memakan ribuan korban jiwa. 3) bahwa semestinya kedua fakta tersebut saling berkaitan sebagai “sebab-akibat”.

Wah, kalau begitu, betapa hebatnya pornografi dan imoralitas itu! Kesimpulan Tifatul mementahkan berbagai penelitian ilmiah mengenai pergeseran lempeng. Apakah mungkin juga, perubahan iklim disebabkan oleh misalnya praktek homoseks? Judi, sinetron, dan acara gosip mungkin juga bisa berbahaya. Sebab boleh jadi itu semua penyebab polusi dan kemacetan di sejumlah kota besar seperti Jakarta. Dan entah apalagi.

Sejujurnya, saya sulit sekali menerima “logika” Pak Tifatul.

Dalam kaidah-kaidah logika, apa yang dilakukan Pak Tifatul adalah sebuah fallacy yang dinamakan post hoc, ergo propter hoc. Maksudnya, ketika seseorang “secara sembarangan” meyakini dua peristiwa yang terjadi secara berurut memiliki hubungan kausalitas.

“.. if a writer argues that A happened after B, therefore B must have caused A, then s/he might have the post hoc ergo propter hoc fallacy, meaning, literally, “after this, therefore because of this.”

Hanya karena kejadian A terjadi setelah kejadian B, apakah berarti kedua kejadian tersebut memiliki hubungan kausalitas? Jika setelah nonton film Balibo perut saya sakit, apakah sakitnya perut saya diakibatkan oleh film Balibo? Saya pikir tidak seperti itu.

Bagaimana pun, penjelasan terbaik bagi rentetan bencana alam yang melanda nusantara, adalah sains. Dan ini tidak bisa dibaca sebagai sikap mengabaikan kuasa Tuhan.

Akhir kata, apa yang dilakukan Pak Tifatul bukan semata slip lidah. Bukan pula semata iman beliau terhadap “kuasa Tuhan”. Melainkan “kebiasaan” para pengkhotbah melontarkan retorika-retorika konyol untuk menarik hati para jammaahnya. Dan celakanya, banyak takhyul di masyarakat awam memiliki pola yang sama dengan “logika” Tifatul; post hoc, ergo propter hoc. Bahwa setelah “disembur” oleh Mbah Jambrong, warung saya kok jadi banyak pembeli. []