Apa Yang Tidak Anda Lihat di Media Tentang Gaza? – Tanggapan Atas Wawancara Tim Marbun dengan Dubes Palestina, Fariz Mehdawi

Tim Marbun dan Fariz Mehdawi. Sumber: Blog Tim Marbun.

Tim Marbun dan Fariz Mehdawi. Sumber: Blog Tim Marbun.

SEKITAR bulan September 2014, saya diberi link wawancara Tim Marbun, wartawan Kompas TV dengan Fariz Mehdawi oleh seorang teman melalui medsos. Setelah saya baca, saya memberikan sedikit tanggapan di kolom komentar karena merasa ada yang perlu “diluruskan”.

Sekian lama komentar saya awaiting moderation, tak kunjung di­approve. Tidak apa-apa, mungkin yang bersangkutan sibuk. Oleh karena itulah saya berpikir untuk mengupload saja komentar tersebut di blog saya sendiri sekedar upaya sharingpendapat. Berikut adalah isi komentar saya.

—————————————————————-

Dear Tim Marbun,

Saya seorang blogger yang kebetulan punya interest terhadap isu konflik Israel-Palestina. Link artikel ini saya dapat dari seorang teman di medsos beberapa waktu yang lalu, yang sudah saya baca tetapi baru kali ini sempat memberi reply.

Saya tertarik dengan judulnya, Apa yang tidak anda lihat di media tentang Gaza?”

Saya jadi bertanya-tanya, “apa ya yang belum saya lihat di media tentang Gaza?” Perasaan, sejauh saya menyimak, sebagian besar yang saya lihat di media khususnya di Indonesia, terkait konflik Israel-Palestina, adalah tentang Gaza. Mungkin belum semua “tentang Gaza” tertumpah di media, tapi, sebagian besar pemberitaan terkait konflik Israel-Palestina, adalah tentang Gaza (dan Tepi Barat dalam kasus yang lain).

Dengan kata lain, media mainstream khususnya di Indonesia hanya memberitakan dari satu sisi, yakni sisi Otoritas Palestina. Ini timpang dan kurang memuaskan bagi para pencari informasi sejati.

Yang saya ingin lihat di media, khususnya media-media di Indonesia, adalah justru tentang Israel; Bagaimana mereka memandang konflik ini, apa apa alasan mereka meroket Gaza, bagaimana kehidupan sehari-hari di Israel terutama warga Arab-Muslimnya, juga korban-korban Israel akibat roket-roket Hamas dan seterusnya.

Tidak pernah ada informasi yang berimbang mengenai konflik ini. Media cenderung berpihak, biasanya sih, ke pihak Otoritas Palestina. Yah, asumsi saya, karena itu yang bisa dijual mengingat segmen pemirsa di Indonesia adalah mayoritas muslim.

Di Gaza tewas 1000 orang sipil, seluruh dunia terutama dunia Islam ramai mengecam Israel. Tetapi sebelumnya 170.000 sipil tewas di Syria, tidak ada yang serius mengecam apalagi sampai demonstrasi di Bundaran HI. Ini tidak adil. Opini publik sudah dibangun oleh media.

Dalam paragraf berikut ini, akan saya sampaikan sedikit pertanyaan dan –mungkin—keberatan terhadap pernyataan Pak Dubes:

“Di Gaza, yang ada hanyalah penduduk sipil. Kita tidak ada tentara. Kita bahkan hampir tidak memiliki pasukan kepolisian untuk keamanan internal.  Kami tidak memiliki pasukan yang bisa bertempur melawan tank dan persenjataan berat dari pasukan Israel, pasukan terbesar dan terbaik ke-4 dunia. Bagaimana kami di Gaza bisa bertempur melawan pasukan sebesar itu?

Jadi menunjukkan bahwa yang terjadi di Gaza adalah perang, itu tidak adil. Ini adalah pembantaian oleh pasukan yang sangat canggih dari negara Israel, melawan populasi sipil, yang bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya”.

Jujur, saya tidak percaya begitu saja pada klaim ini. Hamas memiliki gudang bawah tanah di pemukiman-pemukiman penduduk, bahkan termasuk di sekolah PBB yang kemarin dibom itu.

Hamas memiliki ribuan roket-roket yang walaupun –katakanlah—masih kalah canggih dengan roket-roket Israel, tetapi itu terhitung “persenjataan berat”. Inilah yang menjadi modal Hamas untuk meroket target-target sipil Israel.

“Karena inti dari konflik ini adalah okupansi militer yang dilakukan oleh Israel sejak 1967. Seluruh dunia mengatakan bahwa solusinya adalah menciptakan 2 negara yang hidup damai bersebelahan. Ada beberapa kendala, pertama adalah dimana batas negaranya? Kami mengatakan batas negaranya mengikuti kondisi tahun 1967, sebelum Israel mengokupansi wilayahnya. Menurut batasan ini, Palestina adalah Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem. Itu basis fundamental dari kesepakatan damai, namun meski diterima seluruh dunia, Israel menolak mengakui batasan ini”.

Betul, saya setuju Pak Dubes, bahwa akar konflik Israel-Palestina adalah pendudukan wilayah-wilayah Tepi Barat dan Gaza (juga Sinai dan Golan Height) pada perang 6 hari 1967.

Saya pun juga setuju dengan pendapat solusi dua negara di mana batasnya adalah pra-1967 sebelum Israel menduduki Tepi Barat dan Gaza. Tetapi…

Dikatakan bahwa “Israel menolak mengakui batasan ini”, benarkah? Tahun 2004 Ariel Sharon mengajukan proposal penarikan mundur total pemerintahan Israel dari Gaza, yang terealisasi setahun kemudian. Pada September 2005, Israel telah mundur total dari Gaza, dan sejak itu praktis Gaza merdeka dan bukan lagi wilayah dudukan Israel. Ini adalah langkah maju bagi perdamaian di timur tengah.

Walaupun penarikan mundur instrumen pemerintahan Israel dari Gaza –katakanlah—belum memuaskan beberapa pihak Otoritas Palestina, tapi bukankah semestinya ini disyukuri sebagai kemajuan?

Sebelumnya, Israel dan representatif Palestina menandatangani Oslo Accord I dan II, yang hasilnya adalah pembentukan Otoritas Nasional Palestina di Tepi Barat dan Gaza, di mana Palestina memiliki kontrol penuh atas zona A di Tepi Barat (sementara zona B harus berbagi dengan Israel dan zona C dikontrol penuh oleh Israel).

Pertanyaan saya selanjutnya: Apakah Hamas mau mengakui solusi dua negara dengan batasan pra-1967? Saya rasa tidak. Anda pernah lihat logo Hamas? Mereka menggambarkan “palestina” adalah seluruh Israel, Tepi Barat dan Gaza. Artinya, itu cerminan ideologi Hamas yang tidak setuju solusi dua negara. Hamas bertujuan menghancurkan Israel dan dunia diam terhadap itu, sementara menuntut Israel mengakui solusi dua negara. Apakah ini fair?

Kemudian,

Di atas disebut mengenai solusi dua negara dengan batasan pra-1967. Saya bertanya pada Pak Dubes, APAKAH, SEBAGAI ORANG ARAB, ANDA TIDAK MALU DENGAN TUNTUTAN SEPERTI ITU?

Jika Arab mau menerima UN Partition 1947, wilayah Arab-Palestina akan bisa jauh lebih besar dari batas pra-1967. Tetapi waktu itu pihak Arab menolak, dan pihak Yahudi menerima.

Mahmoud Abbas, presiden anda, bisa lebih jujur. Beliau mengakui bahwa salah satu kesalahan bangsa Arab terkait konflik ini adalah menolak UN Partition:

http://www.reuters.com/article/2011/10/28/us-palestinians-israel-abbas-idUSTRE79R64320111028

“Arabs made a “mistake” by rejecting a 1947 U.N. proposal that would have created a Palestinian state alongside the nascent Israel, Palestinian President Mahmoud Abbas said in an interview aired on Friday”.

“Tujuan utama Israel bukan di Gaza, tapi membangun permukiman di Jerusalem dan di Tepi Barat. Jadi mereka ingin mengalihkan seluruh perhatian dunia ke Gaza, daripada membicarakan apa tentang pembangunan permukiman mereka di tanah yang dirampas di Tepi Barat. Jadi, selama pendudukan ini terus terjadi, lingkaran kekerasan akan terus berulang. Mengapa mereka menyerang Gaza? Karena kita juga telah mencapai rekonsiliasi damai antara Hamas dan Fatah, kini, tidak ada pemisahan lagi di Palestina. Hanya ada 1 pemerintahan, 1 presiden, dan 1 institusi di Palestina, beserta berbagai partai politik, yang akan bersiap menghadapi pemilihan umum pada Januari untuk memilih anggota parlemen dan presiden. Kami mulai bersatu, dan ini yang tidak diterima oleh Israel, mereka ingin menyerang Gaza, dan mencoba menganggap Hamas berbeda sendiri , menciptakan perang antara Israel dan Hamas saja. Ini adalah perang antara pasukan Israel melawan seluruh Palestina, bukan hanya Hamas, dan bukan hanya Gaza”.

Mengapa “mereka” (Israel) menyerang Gaza?

Saya kira semua sudah tahu, bahwa serangan Israel ke Gaza adalah”serangan balasan”. Justru saya yang balik tanya: “Mengapa Hamas menyerang Israel?”

Apakah anda kira Israel akan “begitu saja menyerang” yang implikasinya akan mendapat kecaman dunia?

Kembali ke Tepi Barat:

“Umat muslim takkan membiarkan masjid Al Aqsa dibawah pendudukan. Ini adalah qiblat pertama bagi umat muslim, bahkan sebelum Mekkah. Ada Al Haram Ibrahimi di Hebron, ini situs Abraham. Ini adalah situs suci yang dimiliki oleh setiap muslim, termasuk di Indonesia. Jadi setiap ada serangan atas Palestina dan situs ini oleh Israel, tentu berdampak pada semua muslim di seluruh dunia. Saya ingatkan, satu fakta. OIC, yang merupakan Konferensi Negara Islam, dibentuk karena ada 1 atau 2 warga Israel yang menyebabkan kebakaran di masjid Al Aqsa, ini membakar perasaan seluruh umat muslim, hingga mendorong dibentuknya OIC. Jadi bayangkan betapa pentingnya ini bagi umat muslim”.

Ini agak melenceng dari kasus Gaza, tetapi saya memiliki tanggapan terhadap pendapat ini.

Apakah anda kira, Israel akan membiarkan Yerusalem dan situs-situs sucinya (tembok barat) di bawah “pendudukan asing” (Palestina atau Yordania)? Apakah anda kira umat Yahudi tidak memiliki religiusitas seperti orang Muslim? Yerusalem bukan sekedar “kiblat pertama” buat orang Yahudi, tapi juga yang terakhir dan satu-satunya. Sementara Muslim punya Mekkah, Yerusalem itulah satu-satunya milik Yahudi.

Itulah, kita tidak bisa egois. Kalo umat Islam merasa punya hak atas Yerusalem, begitupun Yahudi (juga Kristen). Makanya, dalam UN Partition 1947, Yerusalem ditetapkan sebagai “corpus separatum”, atau wilayah internasional yang tidak dimiliki oleh baik negara Yahudi maupun Arab. Ini cukup adil menurut saya, dan Yahudi MENERIMA USULAN SEPERTI ITU sebelum pihak Arab mengacaukannya.

Anda tahu nggak, bahwa selama Yerusalem timur diduduki Yordania dari 1949 s/d 1967, orang-orang Yahudi tidak diperbolehkan berdoa di tembok barat. Baru setelah Israel menduduki tepi barat pada 1967, mereka untuk pertama kalinya sejak 1948 bisa berdoa di tembok barat.

Kembali ke judul, “Apa yang tidak anda lihat di media tentang Gaza?”, bahwa hemat saya, sudah terlalu banyak yang kita lihat tentang Gaza melalui media khususnya di Indonesia. Justru yang saya sayangkan, masih banyak yang belum kita lihat di media tentang Israel.

Kita, khususnya orang Indonesia, tidak pernah disajikan konflik Israel-Palestina secara berimbang. Media selalu memiliki tendensi membela pihak Palestina. Asumsi saya, pertama, karena media berusaha memenuhi selera pemirsanya yang mayoritas muslim dengan menyajikan informasi-informasi “yang memang ingin didengar” oleh orang muslim. Kedua, media TAKUT dimusuhi oleh segmen pemirsanya karena memberitakan “yang positif” tentang Israel.

Terlepas dari apakah kita muslim atau bukan, apakah kita pro-Israel atau Palestina, kalau kita cerdas, kita akan menuntut media untuk menerapkan asas “cover both sides”. Sekian. []