Author: Rinaldi
TERUS terang, KTP saya “Islam”. Tapi, saya tidak meyakini barang sedikit pun akidah Islam. Sejak beberapa tahun yang lalu, saya memutuskan untuk murtad. Saya mendeskripsikan posisi saya sekarang ini sebagai “pemikir bebas”.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas soal benar-salahnya akidah Islam. Cerita di atas hanya latar belakang saja. Wacana yang akan saya angkat adalah mengenai pentingnya mencantumkan kolom agama pada kartu identitas.
Secara de facto, saya jelas bukan muslim. Namun secara de jure jelas saya muslim, sebagaimana tertulis pada kolom agama di KTP maupun Kartu Keluarga.
Tulisan ini bermula dari pengalaman pribadi yang demikian. Saya berpikir: Kalau begitu, apa arti dan tujuan dari kolom agama pada kartu identitas? Siapapun bisa menulis “Islam”, “Kristen”, “Hindu”, dan seterusnya di kartu identitas semata demi formalitas, tanpa harus terbeban meyakini sedikit pun akidah agama yang bersangkutan, atau terbeban untuk melakukan ritual ibadah agama yang bersangkutan.
Saya tidak sendiri. Beberapa teman saya menganut agama yang berbeda dari yang mereka cantumkan di KTP. Ada yang ber-KTP Buddha, tapi dalam prakteknya Kristen dan telah menikah secara Kristen. Begitu pun ada yang ber-KTP Kristen (Protestan) ternyata Katolik, dan seterusnya. Belum termasuk teman-teman sesama pemikir bebas yang ber-KTP Islam, Kristen, atau agama-agama lain.
Saya hanya bersikap pragmatis dengan tetap mencantumkan “Islam” di KTP. Memangnya bisa mencantumkan “pemikir bebas” di KTP? Kalau pun bisa, apakah ada jaminan keselamatan dan jaminan tidak dipersulit kalau mengurus ini-itu? Yang ber-KTP Kristen saja yang notabene “agama resmi”, bisa dipersulit apalagi “pemikir bebas”. Oleh sebab itu, ketika ada selentingan wacana penghapusan kolom agama di KTP, tanpa ragu saya setuju.
Betul, saya setuju dengan usulan bahwa sebaiknya kolom agama di KTP dihapuskan. Kenapa? Ada banyak sekali alasan. Salah satunya adalah karena kepenganutan terhadap agama merupakan urusan pribadi yang tidak ada relevansinya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepenganutan terhadap agama tidak bisa diverifikasi keakuratannya.
Coba, bagaimana anda memverifikasi bahwa seseorang yang ber-KTP Kristen dan telah dibaptis, adalah benar-benar seorang yang percaya sepenuhnya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat? Saya pun rela dibaptis dan mengucapkan serangkaian syahadat iman Kristen untuk kepentingan –misalnya—pernikahan. So what? Pragmatis saja. Nothing to lose buat saya.
Kita harus rasional. Buat saya, kolom “golongan darah” di KTP jauh lebih penting daripada kolom agama. Ironisnya, ini justru seringkali terlihat kosong! Kalau anda “kenapa-kenapa” di jalan dan dilarikan ke rumah sakit, mana yang lebih menyelamatkan nyawa anda: Informasi golongan darah atau informasi agama?
Mereka yang pro-penulisan kolom agama di KTP antara lain berpendapat, bahwa “penulisan agama” bertujuan untuk mengetahui statistik para penganut agama. Ini kembali kepada persoalan fundamental di atas; Siapa yang bisa menjamin atau alat canggih apa yang bisa dipakai untuk memverifikasi bahwa agama yang tertera di KTP seseorang adalah sama dengan agama aktual yang diimani oleh si pemegang KTP? Selama tidak ada yang bisa menjamin keakuratan agama tertulis dan agama aktual, maka statistik yang dibangun berdasarkan data kepenganutan agama melalui KTP menjadi tidak valid. Apalagi ditambah batasan menuliskan agama yang dianut menjadi hanya sebatas enam agama resmi saja. Jadi, seumpama saya penganut agama yang berjudul “Wel geduwel bleh”, tentu tidak bisa dicantumkan di KTP. Dan kalau pun dibuat statistiknya, paling banter agama semacam itu masuk kategori “lain-lain”, ya kan? Statistik macam apa itu?
Alih-alih bermanfaat, adanya kolom agama di KTP malah bisa jadi petaka. Dalam kerusuhan SARA di Ambon, gara-gara kolom agama di KTP, nyawa seseorang bisa melayang. Dan yang tak kalah menjengkelkan adalah potensi diskriminasi dalam birokrasi di Indonesia, di mana umat agama minoritas cenderung bisa dipersulit dan diperas.
Masyarakat harus diberi pemahaman, bahwa menghapus kolom agama di KTP tidak sama dengan mengapus agama atau memberangus hak sipil untuk beragama. Bahwa sesungguhnya, penghapusan kolom agama di KTP adalah wujud netralitas negara terhadap agama, di mana negara mengakomodir semua jenis agama dan kepercayaan, termasuk mereka yang memutuskan untuk tidak menganut suatu agama apapun. Bahwa menganut agama atau tidak menganut agama, adalah urusan pribadi yang bersangkutan dan bukan bagian dari identitas resmi negara.
Bahwa pada dasarnya, tiap individu adalah bebas dan setara. Negara bertindak sebagai wasit yang melindungi hak sipil masyarakat baik untuk beragama maupun tidak beragama. Apa sih susahnya? Apa yang ditakutkan? []