Kolom Agama di KTP, Pentingkah?

Contoh KTP Jerman. Simpel, tidak ada kolom agama. Sumber: Wikipedia.

Contoh KTP Jerman. Simpel, tidak ada kolom agama. Sumber: Wikipedia.

Author: Rinaldi

TERUS terang, KTP saya “Islam”. Tapi, saya tidak meyakini barang sedikit pun akidah Islam. Sejak beberapa tahun yang lalu, saya memutuskan untuk murtad. Saya mendeskripsikan posisi saya sekarang ini sebagai “pemikir bebas”.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas soal benar-salahnya akidah Islam. Cerita di atas hanya latar belakang saja. Wacana yang akan saya angkat adalah mengenai pentingnya mencantumkan kolom agama pada kartu identitas.

Secara de facto, saya jelas bukan muslim. Namun secara de jure jelas saya muslim, sebagaimana tertulis pada kolom agama di KTP maupun Kartu Keluarga.

Tulisan ini bermula dari pengalaman pribadi yang demikian. Saya berpikir: Kalau begitu, apa arti dan tujuan dari kolom agama pada kartu identitas? Siapapun bisa menulis “Islam”, “Kristen”, “Hindu”, dan seterusnya di kartu identitas semata demi formalitas, tanpa harus terbeban meyakini sedikit pun akidah agama yang bersangkutan, atau terbeban untuk melakukan ritual ibadah agama yang bersangkutan.

Saya tidak sendiri. Beberapa teman saya menganut agama yang berbeda dari yang mereka cantumkan di KTP. Ada yang ber-KTP Buddha, tapi dalam prakteknya Kristen dan telah menikah secara Kristen. Begitu pun ada yang ber-KTP Kristen (Protestan) ternyata Katolik, dan seterusnya. Belum termasuk teman-teman sesama pemikir bebas yang ber-KTP Islam, Kristen, atau agama-agama lain.

Saya hanya bersikap pragmatis dengan tetap mencantumkan “Islam” di KTP. Memangnya bisa mencantumkan “pemikir bebas” di KTP? Kalau pun bisa, apakah ada jaminan keselamatan dan jaminan tidak dipersulit kalau mengurus ini-itu? Yang ber-KTP Kristen saja yang notabene “agama resmi”, bisa dipersulit apalagi “pemikir bebas”. Oleh sebab itu, ketika ada selentingan wacana penghapusan kolom agama di KTP, tanpa ragu saya setuju.

Betul, saya setuju dengan usulan bahwa sebaiknya kolom agama di KTP dihapuskan. Kenapa? Ada banyak sekali alasan. Salah satunya adalah karena kepenganutan terhadap agama merupakan urusan pribadi yang tidak ada relevansinya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepenganutan terhadap agama tidak bisa diverifikasi keakuratannya.

Coba, bagaimana anda memverifikasi bahwa seseorang yang ber-KTP Kristen dan telah dibaptis, adalah benar-benar seorang yang percaya sepenuhnya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat? Saya pun rela dibaptis dan mengucapkan serangkaian syahadat iman Kristen untuk kepentingan –misalnya—pernikahan. So what? Pragmatis saja. Nothing to lose buat saya.

Kita harus rasional. Buat saya, kolom “golongan darah” di KTP jauh lebih penting daripada kolom agama. Ironisnya, ini justru seringkali terlihat kosong! Kalau anda “kenapa-kenapa” di jalan dan dilarikan ke rumah sakit, mana yang lebih menyelamatkan nyawa anda: Informasi golongan darah atau informasi agama?

Mereka yang pro-penulisan kolom agama di KTP antara lain berpendapat, bahwa “penulisan agama” bertujuan untuk mengetahui statistik para penganut agama. Ini kembali kepada persoalan fundamental di atas; Siapa yang bisa menjamin atau alat canggih apa yang bisa dipakai untuk memverifikasi bahwa agama yang tertera di KTP seseorang adalah sama dengan agama aktual yang diimani oleh si pemegang KTP? Selama tidak ada yang bisa menjamin keakuratan agama tertulis dan agama aktual, maka statistik yang dibangun berdasarkan data kepenganutan agama melalui KTP menjadi tidak valid. Apalagi ditambah batasan menuliskan agama yang dianut menjadi hanya sebatas enam agama resmi saja. Jadi, seumpama saya penganut agama yang berjudul “Wel geduwel bleh”, tentu tidak bisa dicantumkan di KTP. Dan kalau pun dibuat statistiknya, paling banter agama semacam itu masuk kategori “lain-lain”, ya kan? Statistik macam apa itu?

Alih-alih bermanfaat, adanya kolom agama di KTP malah bisa jadi petaka. Dalam kerusuhan SARA di Ambon, gara-gara kolom agama di KTP, nyawa seseorang bisa melayang. Dan yang tak kalah menjengkelkan adalah potensi diskriminasi dalam birokrasi di Indonesia, di mana umat agama minoritas cenderung bisa dipersulit dan diperas.

Masyarakat harus diberi pemahaman, bahwa menghapus kolom agama di KTP tidak sama dengan mengapus agama atau memberangus hak sipil untuk beragama. Bahwa sesungguhnya, penghapusan kolom agama di KTP adalah wujud netralitas negara terhadap agama, di mana negara mengakomodir semua jenis agama dan kepercayaan, termasuk mereka yang memutuskan untuk tidak menganut suatu agama apapun. Bahwa menganut agama atau tidak menganut agama, adalah urusan pribadi yang bersangkutan dan bukan bagian dari identitas resmi negara.

Bahwa pada dasarnya, tiap individu adalah bebas dan setara. Negara bertindak sebagai wasit yang melindungi hak sipil masyarakat baik untuk beragama maupun tidak beragama. Apa sih susahnya? Apa yang ditakutkan? []

Aksi Boko Haram dan Sikap Standar Ganda Umat Islam dalam Merespon Isu-Isu Kemanusiaan

Global protests: Demonstrators yelled Friday in London, showing a play on words that reverses the meaning of Boko Haram -- 'Western education is permitted; Terror is sinful,' it reads. Photo: AP

Global protests: Demonstrators yelled Friday in London, showing a play on words that reverses the meaning of Boko Haram — ‘Western education is permitted; Terror is sinful,’ it reads. Photo: AP

Author: Rinaldi

DARI kemarin, banyak sliwar-sliwer berita di timeline FB saya, kelompok Boko Haram, organisasi bernafaskan Islam asal Nigeria yang paham ideologinya bersifat teroristik pimpinan Abubakar Shekau, menculik 200-an siswi sekolah untuk dijual sebagai budak. Kelompok teroris ini dikenal sangat anti terhadap pendidikan bagi perempuan.

Dalam tulisan singkat ini, saya nggak tertarik untuk membahas kekejaman Boko Haram. Juga nggak tertarik untuk memperdebatkan apa dan bagaimana ajaran Islam itu sebenarnya.

Saya juga nggak merasa perlu ngasih link beritanya. Tinggal cek google, banyak kokwong lagi rame.

Yang saya herman, saya belum pernah dengar ada ormas-ormas Islam berdemo,long-march berpanas-panasan mengecam aksi organisasi Boko Haram yang jelas-jelas dengan membawa label “Islam”, merampas hak-hak sipil perempuan untuk bersekolah dan malah akan menjadikan mereka sebagai budak.

Saya berpikir, seandainya pelakunya Israel dan korbannya pelajar muslimah Palestina,wah, pasti sudah ramai tuh Bundaran HI dan kedubes Amerika.

Ada apa dengan ormas-ormas Islam? Kenapa mereka cenderung tutup mata ketika pelaku kejahatan adalah saudara seiman mereka sendiri? Kenapa suara protes mereka terhadap aksi brutal Boko Haram, kalaupun ada, tidak sekencang protes mereka ketika Israel akan membangun pemukiman Yahudi di Tepi Barat atau ketika Israel melakukan serangan balasan ke Gaza yang menewaskan sekian warga sipil Palestina?

Hemat saya, sesungguhnya yang jadi masalah bukan Boko Haram-nya. Tapi sikap standar ganda umat Islam dalam merespon isu-isu kemanusiaan di dunia. []

Kasus Dinda dan Kemunafikan Orang-orang Indonesia

Screenshot akun Dinda. Sumber: Solopos.com

Screenshot akun Dinda. Sumber: Solopos.com

Author: Rinaldi

BEBERAPA hari lalu, publik Indonesia dikejutkan oleh Dinda, seorang perempuan muda yang melalui akun Path-nya mengekspresikan kekesalan terhadap ibu-ibu hamil yang meminta tempat duduk di KRL. Screenshot tulisan Dinda kemudian menyebar, dan tentu saja menuai kecaman publik di berbagai jejaring sosial. Beberapa portal berita online bahkan sampai menurunkan beritanya.

Sebagai pengguna angkutan umum, termasuk KRL, saya tidak ikut-ikutan membully Dinda. Karena saya sadar, dia cuma menuliskan apa yang dirasakannya, yang mungkin dirasakan juga oleh banyak orang pengguna angkutan umum seperti KRL.

Kalau kita mau jujur, sebenarnya yang punya perasaan seperti Dinda itu banyak. Apalagi di masyarakat Jakarta atau sub-urban yang tiap hari harus berebut naik bis kota, KRL atau terjebak kemacetan panjang. Hanya saja mereka tidak blak-blakan mengungkapkan isi hatinya dengan jujur di jejaring sosial. Entah tidak berani, tidak punya jejaring sosial, atau sekedar “jaga image” supaya tidak dibilang bejat.

Inilah “penyakit” yang tampaknya sudah menjadi karakteristik umum masyarakat Indonesia. “Penyakit” tersebut bukan “tidak punya empati”, bukan “tidak peduli terhadap sesama”, tetapi kemunafikan.

Saya tidak secara spesifik membahas soal “ibu-ibu hamil” dalam kasus Dinda. Ini menyangkut masalah yang lebih luas, yaitu kemunafikan.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang senang berpura-pura; Pura-pura ramah, pura-pura toleran, pura-pura berbudaya tinggi, pura-pura agamis, pura-pura santun dan bermoral. Nah, begitu ada satu-dua orang yang secara apa adanya mengungkapkan isi hatinya, publik kalap dan membombardir orang tersebut dengan berbagai kuliah moral. Padahal, publik yang menghakiminya belum tentu lebih baik dari orang tersebut. Mereka hanya tidak blak-blakan mengekspresikan isi kepala mereka seperti Dinda.

Begitu screenshot Dinda mencuat, mendadak publik Indonesia jadi tampak bermoral dan memiliki empati. Ramai-ramai menghujat dan menguliahi Dinda dengan berbagai materi etika dan moral. Tapi, boleh jadi mereka yang mendadak bermoral itu masih suka buang sampah sembarangan. Dalam mengendarai motor masih suka menyerobot trotoar ketika jalan macet yang mengganggu pejalan kaki. Masih suka berhenti di zebra cross atauberhenti jauh melebihi garis stop di lampu merah yang jelas mengganggu penyebrang jalan.Masih suka nerobos jalur busway di jalan. Egois dan tidak peduli dengan pengguna jalan lain. Masih suka nyogok petugas kalau ditilang. Mereka juga mungkin diam saja ketika mengetahui ada teman atau saudara mereka yang nyogok untuk bisa masuk PNS atau Polisi. Hal-hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah di Indonesia, yang terjadi setiap waktu dan tidak ada laskar sok moral yang membully. Dinda hanya sial saja, karena dia jujur mengungkapkan isi hatinya.

Bayangkan, seandainya ada yang dengan jujur menyatakan di muka publik bahwa “kalau mau mudah masuk PNS, nyogok saja”, pasti dia juga akan dibully habis-habisan. Padahal itulah kenyataan yang terjadi tiap waktu. Masyarakat ramai-ramai menghujat institusi dan pejabat korup, tapi banyak dari mereka lebih memilih “jalan damai” ketika ditilang polisi alih-alih membayar denda secara fair.

Contoh lagi, waktu kasus video asusila Ariel dan Cut Tari mencuat, Metro TV pernah mengangkat issue tersebut dalam acara “Suara Anda” secara live yang kalau tidak salah dipandu Fifi Aleyda Yahya. Pada satu sesi, host bertanya pada audience, kurang lebih begini, “siapa di antara kalian yang sudah menyaksikan video asusila tersebut?” Audience diam, tidak ada yang angkat tangan.

Bohong kalau dari sekian puluh audience yang kebanyakan anak muda,  pada belum pernah menyaksikan video asusila yang tengah populer tersebut. Kenapa mereka tidak ada yang angkat tangan? Mereka malu dan takut dihakimi “tidak bermoral” hanya karena menyatakan diri pernah menonton video tersebut.

Atas video asusila tersebut, publik Indonesia menghujat Ariel. Dia dianggap pezinah yang tidak bermoral. Tapi pada saat bersamaan, videonya laris manis berkelana dari HP ke HP via bluetooth. Itulah gambaran kecil masyarakat Indonesia yang munafik; Pelaku tindakan asusila dihujat, tapi diam-diam videonya dicari.

Tampaknya begitulah karakteristik alamiah orang-orang Indonesia. Di muka publik berusaha tampak normatif, santun dan berperikemanusiaan, namun di belakang bisa lain sikapnya. Persis mahasiswa yang dalam berbagai demonstrasi teriak-teriak membela rakyat dan mengecam pelanggaran HAM, tapi pas ngospek bisa matiin orang juga. []

Masih Didominasi Partai-partai Sekuler-Nasionalis, Islamisme ala PKS Tak Begitu Diminati di Indonesia

Karena tak ada pilihan, akhirnya saya memutuskan untuk golput. Foto: Rinaldi

Karena tak ada pilihan, akhirnya saya memutuskan untuk golput. Foto: Rinaldi

Author: Rinaldi

DIBANDINGKAN partai-partai lain, perolehan suara PDIP menurut hasil quick count sementara pada pemilu legislatif 2014 kemarin cukup tinggi. Partai-partai berhaluan kanan seperti PKS, bahkan tak masuk lima besar. Secara umum, partai-partai bernafaskan Islam tak pernah dengan telak memenangkan pemilu di Indonesia.

Terlepas dari soal “Jokowi effect”, besarnya perolehan suara PDIP tersebut menunjukkan kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai ideologi nasionalis-sekuler ketimbang Islamisme. Meski berpenduduk muslim terbesar di dunia, ideologi-ideologi Islamis tak begitu laku di Indonesia.

Kelebihan partai-partai berhaluan kanan seperti PKS adalah mereka memiliki massa yang militan. Dengan itu, PKS mudah menghimpun massa dalam jumlah besar untuk demonstrasi atau kampanye. Karena itulah PKS kelihatan solid dan “massive”, namun pada hakikatnya mereka minoritas.

Kelebihan tersebut tampaknya sekaligus menjadi kekurangan PKS. Karena dengan karakteristik massa yang militan, PKS terlihat eksklusif. Hanya orang-orang Islam aliran tertentu, yang jumlahnya sedikit, yang setia dengan PKS. Sisanya hanyalah suara-suara “swing voters”; Kali ini nyoblos PKS, pemilu depan belum tentu. Buktinya, meski pernah memenangkan suara di Propinsi DKI pada pileg 2009, pada pilgub DKI 2012 calon dari PKS, Hidayat Nur Wahid, kalah suara sampai-sampai tak lolos putaran kedua. Pemenang pilgub DKI 2012 justru tokoh yang berhaluan nasionalis-sekuler plus seorang Cina-Kristen. Tampaknya, suara-suara pemilih militan PKS tak cukup kuat untuk mendukung cagub yang diusung PKS pada pilgub DKI 2012 lalu. []

Aksi Bela Satinah dan Standar Ganda Publik Indonesia

Most of Indonesian are hypocrites.

Most of Indonesian are hypocrites.

Author: Rinaldi

TIDAK semua TKI yang terjerat hukuman di luar negeri patut dibela. Adakalanya mereka memang bersalah dan layak mendapat hukuman menurut standar hukum setempat.

Belakangan terakhir, Indonesia dihebohkan oleh kasus Satinah. TKW asal Indonesia ini divonis bersalah oleh pengadilan Kerajaan Saudi Arabia atas tuduhan pembunuhan dan pencurian. Berdasarkan sumber Tempo, Satinah telah mengakui membunuh majikannya dan mencuri uang sebesar 37,970 Riyal atau sekitar Rp.119 juta. Hukuman pancung Satinah akan dibatalkan apabila pihak Satinah membayar uang tebusan atau diyat senilai kurang lebih 21 milyar rupiah.

Ancaman hukum pancung Satinah menuai reaksi dari publik Indonesia. Banyak pihak mengecam Kerajaan Saudi dan menuntut pemerintah untuk berupaya membebaskan Satinah dari hukuman pancung. Aksi galang dana pun digelar. Entah sudah berapa milyar yang terkumpul dan entah siapa saja yang telah menyumbangkan uang.

Aksi “mendadak simpati” ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, antara lain: Apa yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat Indonesia dengan bebasnya Satinah –yang telah terbukti secara sah membunuh dan mencuri- dari hukuman pancung di Saudi Arabia?

Kita bandingkan dengan kasus Corby. Waktu Corby tertangkap di Bandara Ngurah Rai dengan 4.2 kilogram ganja di tasnya, dia langsung diproses, diadili, dan akhirnya divonis 20 tahun penjara. Keluarga Corby dan masyarakat Australia protes. Bahkan mereka membuat petisi untuk kebebasan Corby. Mereka memiliki praduga bahwa Corby dijebak. Mereka memandang Corby tidak bersalah dan tidak layak mendapatkan hukuman itu. Tetapi opini publik Indonesia pada waktu itu cenderung mengatakan “hormati dong proses dan ketentuan hukum di Indonesia”.

Kenapa orang Indonesia tidak bisa mengatakan hal yang sama dalam kasus Satinah dengan mengatakan “hormati dong ketentuan dan keputusan hukum Saudi Arabia?”

Apakah Corby bersalah? Menurut perspektif masyarakat Australia, dia tidak bersalah. Atau sekurangnya ada unsur-unsur ketidakadilan dalam kasus Corby. Tapi menurut perspektif masyarakat Indonesia, Corby bersalah. Seharusnya masyarakat Australia termasuk keluarga Corby menghormati proses dan ketentuan hukum di Indonesia. Waktu Corby diberi bebas bersyarat beberapa waktu lalu, publik Indonesia mengecam pemerintah yang dinilai “tidak tegas” dalam menghadapi penyelundup narkoba asal Australia.

Apakah Satinah bersalah? Menurut perspektif masyarakat Indonesia, dia tidak bersalah. Atau sekurangnya ada unsur-unsur ketidakadilan dalam kasus Satinah. Tapi bagaimana menurut perspektif pemerintah dan publik Saudi, terutama keluarga korban? Tentu kurang lebih mereka akan mengatakan hal yang sama dengan apa yang dikatakan publik Indonesia dalam kasus Corby; “hormati dong proses dan ketentuan hukum di Saudi”.

Di sinilah standar ganda masyarakat Indonesia kelihatan. Pada kasus Corby, mereka setuju Corby dihukum. Bahkan mereka memprotes kebijakan pemerintah yang memberikan kebebasan bersyarat pada Corby. Masyarakat Indonesia berpandangan bahwa pihak Australia harus menghormati proses dan ketentuan hukum di Indonesia.

Tetapi pada kasus Satinah, masyarakat Indonesia berkata lain; Mereka berpandangan bahwa pemerintah harus melakukan negosiasi dengan Kerajaan Saudi agar Satinah bisa lolos dari hukuman pancung. Sebagian malah mengecam Saudi dan menuduh vonis matinya tidak adil.

Kenapa masyarakat Indonesia tidak menghormati proses dan ketentuan hukum Saudi Arabia, sebagaimana mereka menuntut Corby/Australia untuk menghormati proses dan ketentuan hukum Indonesia?

Kalo anda bisa berasumsi bahwa pengadilan Saudi tidak adil terhadap Satinah, kenapa anda berpikir bahwa pengadilan Indonesia telah berlaku adil terhadap Corby?

Pada akhirnya, simpati dan pembelaan masyarakat Indonesia terhadap Satinah, pembunuh dan pencuri uang majikannya, sama posisinya dengan pembelaan warga Australia terhadap penyelundup narkoba asal Australia, Schapelle Corby.

Indonesia bangsa munafik dan gemar berstandar ganda. []

Penembakan di Nairobi: Islam dan Terorisme

Author: Rinaldi

Pengunjung mall di Nairobi, Kenya, berlarian ke luar menghindari tembak-menembak antara teroris dan polisi. Foto: EPA/Daily Mail

Pengunjung mall di Nairobi, Kenya, berlarian ke luar menghindari tembak-menembak antara teroris dan polisi. Foto: EPA/Daily Mail

SEKELOMPOK teroris di Nairobi, Kenya, menyerang sebuah mall. Sasaran mereka adalah pengunjung non-Muslim. Sedikitnya 39 orang tewas dalam tragedi tersebut.

Sebagaimana disebut Daily Mail, grup teroris Somalia Al-Shabaab yang memiliki jaringan dengan Al-Qaeda telah mengklaim bertanggungjawab atas penyerangan di mall tersebut. Mereka mengeluarkan pernyataan bahwa aksi tersebut merupakan peringatan untuk pemerintah Kenya agar menarik mundur pasukannya di Somalia.

Dalam tragedi teror semacam ini, publik Indonesia sepertinya takut dan ragu menuding “Islam”. Kita takut terjebak pada isu SARA dan terbuai dengan ilusi “islam agama damai”. Kita takut dicap “anti-Islam”. Kita takut dimusuhi oleh teman-teman Muslim kita.

Padahal, “ketakutan” itulah yang menyebabkan ideologi teror berlandaskan agama merajalela.

Selama ini, kita hanya “dipersilakan” menyalahkan kelompok radikal Islam. Bukan teks-teks Islam yang mendasari perbuatan mereka. Kita dipaksa mengakui bahwa pelaku tersebut adalah “oknum”, bukan representasi dari Islam.

Padahal, saya kira sebutan  itu tidak berlebihan. Ajaran Islam pantas dituding atas sejumlah aksi-aksi teror kelompok Muslim radikal. Sebagaimana kita tahu, grup teroris yang memiliki landasan ideologi Islam jelas memiliki dalil-dalil Al Quran yang menjustifikasi perbuatannya.

Tanggapan standar Muslim Indonesia pasti mengatakan, “itu ‘kan oknum-oknumnya saja, bukan Islamnya yang salah”. Kalimat “bukan Islamnya yang salah” adalah kalimat pembelaan diri yang klise. Sudah terlalu sering saya mendengar kalimat itu, sesering saya mendengar ada orang membunuh dan mengacau atas dasar ajaran Islam.

Jika ada individu yang setelah nonton video porno lantas memperkosa orang, kalian menyalahkan video porno sebagai “biang” dari pelecehan seksual. Jika gara-gara rok mini seorang perempuan diperkosa, kalian menyalahkan rok mini. Nah, jika ada Muslim yang setelah membaca dan memahami teks-teks Islam kemudian terinspirasi melakukan perbuatan-perbuatan teror, kenapa kalian tidak menyalahkan teks-teks Islam yang menginspirasi mereka?

Memang, tidak semua Muslim yang setelah membaca dan memahami teks-teks Islam menjadi teroris. Sama halnya, tidak semua individu yang setelah nonton film porno memperkosa orang. Tapi, kalian tetap menyalahkan pornografi sebagai “biang” dari pelecehan seksual kan? Kenapa kalian tidak berpikir dengan logika yang sama untuk Islam?

Jika anda, Muslim, mengutuk aksi teror tersebut dan menganggap pelakunya “tidak merepresentasikan Islam”, saya tanya: Apakah anda sendiri merasa merepresentasikan Islam, sehingga anda bisa berkata seperti itu? Apakah anda bisa tunjuk satu saja individu atau institusi yang benar-benar representasi sah dari “Islam” yang diakui oleh seluruh umat Islam, sehingga siapapun bisa menilai Islam darinya?

Apakah Sunni atau Syiah? Apakah Al-Qaeda, Hizbullah atau Ikhwanul Muslimin? Apakah NU atau Muhammadiyah? Apakah Nurcholish Madjid atau Abu Bakar Baasyir? Gus Dur atau Habib Rizieq? Syafii Ma’arif atau Muhammad Al-Khaththath?

Anda boleh mengatakan bahwa Al-Qaeda tidak merepresentasikan ajaran Islam. Dan mereka pun juga tidak menganggap anda sebagai representasi Islam.

Saya rasa di dunia ini tidak ada satu individu atau satu institusi apapun yang dianggap secara sah merepresentasikan Islam dan diakui oleh seluruh Muslim di dunia. Karena Islam dipahami secara beragam oleh penganutnya. Dan adalah sebuah fakta bahwa teks-teks Islam yang sangat berpotensi untuk ditafsirkan secara “keras” dan teroristik, ada.

“Berpotensi ditafsirkan keras”, itu kata kuncinya.

Anda-anda Muslim di sini, mungkin tidak salah dengan konsep Islam yang damai dan toleran. Tetapi mereka juga belum tentu salah dengan konsep Islam yang teroristik dan bringas. Karena itu, janganlah mudah menghakimi bahwa kelompok-kelompok Islam bringas itu “tidak merepresentasikan Islam”. Karena, mereka pun juga tidak menganggap anda, Muslim yang damai dan toleran, sebagai representasi sah dari ajaran Islam. Anda punya dalil Al Quran, mereka pun demikian.

Saya tidak peduli dengan perdebatan teologis antara “Muslim damai” dan “Muslim bringas”.Yang jelas, jika Islam ingin diterima secara wajar dan terhormat di era modern, bagian-bagian tertentu dari ajaran Islam yang berpotensi ditafsirkan secara keras harus dihilangkan.

Film saja ada badan sensornya, masa untuk agama tidak? []

Amerika Serikat: Antara Dibenci dan Dicinta

Author: Rinaldi

Hidayat Nur Wahid memimpin demonstrasi. Foto: Antara/ Ujang Zaelani

Hidayat Nur Wahid memimpin demonstrasi. Foto: Antara/ Ujang Zaelani

PASCA peristiwa runtuhnya menara kembar World Trade Center di New York pada 2001, Amerika Serikat menginvasi Afghanistan dan disusul Irak pada 2003. Saat itu, banyak masyarakat memprotes, khususnya umat Islam. Di Indonesia, berbagai elemen umat Islam ramai berdemo mengutuk AS. Mereka menuduh invasi AS ke Afghanistan dan Irak melanggar kedaulatan sebuah negara dan banyak menyebabkan korban sipil. Seruan “jihad” pun berkumandang.

Di mata AS, “Islam” adalah agama kekerasan, penuh teror dan kebencian. Berkaitan dengan itu, AS mengumandangkan perang melawan teroris-teroris yang kala itu teridentifikasi sebagai “muslim”.

Sebaliknya, sejak saat itu pula umat Islam memandang Amerika Serikat sebagai “setan besar”, “kafir laknat” dan musuh umat Islam. Amerika tukang ikut campur urusan negara lain, dajjal, berstandar ganda mengenai penegakan HAM, dan lain sebagainya. Pokoknya, Amerika Serikat dipandang sebagai benar-benar musuh Islam.

Dulu, Ahmadinejad vokal sekali menentang Amerika. Beliau terkenal dengan kalimatnya, “Amerika setan besar”. Muslim-muslim Indonesia banyak mengagumi Ahmadinejad yang dicitrakan sederhana. Foto-fotonya pakai kemeja sobek populer di jagat maya. Umat Islam Indonesia juga cenderung mendukung Hizbullah waktu berperang lawan Israel pada 2006.

Padahal, baik Ahmadinejad dan Hizbullah adalah Syiah, sekte Islam yang sekarang ramai disesat-sesatkan. Di Indonesia, topik kesesatan Syiah populer seiring peristiwa pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura. Dalam pandangan Sunni-fanatik, Syiah bukan Islam.

Sekarang, Amerika berencana menyerang Suriah, menyerang rezim Assad yang Syiah. Momen yang pas, di mana Sunni Indonesia sedang panas-panasnya terbakar dengan topik kesesatan Syiah. Kebijakan Amerika ini didukung oleh negara-negara Arab-Sunni, yang bahkan menawarkan bantuan jika Amerika mau menyerang Suriah. Tidak hanya negara-negara Arab, malah wasekjen PKS, partai Islam yang berpandangan konservatif, baru-baru ini juga menyatakan dukungannya atas serangan Amerika ke Suriah.

Alasan wasekjen PKS mendukung AS, adalah karena rezim Assad telah berlaku zalim dengan menggunakan senjata kimia dalam melawan oposisi. Sebuah alasan yang kurang lebih sama bobotnya dengan alasan AS waktu menyerang Afghanistan dan Irak beberapa tahun lalu.

Melihat dukungan negara-negara Arab dan wasekjen PKS terhadap invasi Amerika Serikat ke Suriah, saya menilai betapa munafiknya muslim-muslim macam mereka itu. Atas nama Islam, Amerika Serikat mereka kafir-kafirkan, mereka setan-setankan, mereka anggap “musuh Islam”, bahkan lantang terdengar seruan boykot produk-produk Amerika –yang tidak pernah kelihatan implementasinya itu. Tetapi demi urusan membantai Syiah, sebuah sekte Islam yang mereka benci, atas nama Islam pula mereka mendukung “setan besar” –meminjam istilahnya Ahmadinejad–  untuk melakukan agresi militer ke Suriah, yang tentu saja akan menimbulkan korban sipil/collateral damage seperti di Irak.

Dulu, ramai umat Islam menuduh Amerika Serikat melakukan standar ganda terkait kebijakannya terhadap timur tengah. Tanpa sadar, umat muslim pun kerap kali melakukan standar ganda. Omong-kosonglah kalau mereka bicara kemanusiaan. Mereka hanya membela kepentingan sektarian mereka sendiri. []

Miss World dan Kecemburuan Nilai

Author: Rinaldi

Islam dan modernitas. Ilustrasi/Dari berbagai sumber.

Islam dan modernitas. Ilustrasi/Dari berbagai sumber.

KENAPA muslim fanatik menentang Miss World? Ada banyak faktor. Salah satunya adalah faktor “kecemburuan nilai”.

Muslim fanatik itu cenderung konservatif dalam memandang perempuan, juga relasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam konsep mereka, perempuan harus menutup seluruh tubuhnya, dan sebagai konsekwensi, menjadi kurang menarik. Mereka juga berpandangan bahwa laki-laki tidak bisa mendekati atau menyentuh perempuan yang bukan muhrim sembarangan, meskipun cuma sentuhan wajar seperti salaman atau berpelukan. Batasan-batasan ini adalah salah satu prinsip dasar dalam keyakinan mereka.

Pada saat bersamaan, dalam hati kecilnya, mereka mengakui bahwa ‘modernitas’ itu menarik; penuh gaya, warna dan dinamis. Contohnya, pakaian perempuan modern lebih beraneka warna dan beragam, yang oleh karena itu lebih menarik. Perempuan mana yang tidak suka dandan? Laki-laki mana yang tidak suka melihat perempuan modis?

Tidak hanya pakaian, begitu juga tata pergaulan dalam peradaban modern. Saya tidak bicara “seks bebas”, “perzinahan”, “narkoba”, “mabuk-mabukan” atau apapun yang oleh muslim fanatik secara keliru sering diasosiasikan dengan “kemodernan”. Saya bicara tata pergaulan modern yang wajar. Di mana laki-laki dan perempuan bisa berkumpul dan bergaul bersama dengan wajar, equal, bersentuhan dengan wajar (salaman, pelukan, dsb). Hal itu sesuatu yang natural dalam bersosialisasi, tetapi “haram” dalam nilai-nilai Islam yang konservatif.

Di sinilah, pada muslim konservatif, terjadi ‘bentrok pikiran’. Melihat dinamika tata-nilai modern, mereka “pingin kayak begitu”, tapi tidak bisa, karena dibatasi oleh prinsip-prinsip dasar yang mereka yakini. Akhirnya timbul sikap “denial”, sikap menyatakan “tidak suka” terhadap kehidupan modern yang demikian untuk menutupi ketertarikan alamiah tersebut.

Sebenarnya mereka bukan tidak suka, tetapi iri. Mereka merasa “capek-capek” secara ketat mengamalkan ajaran agama, sementara orang-orang dengan enaknya menikmati hidup dengan bebas dan berwarna. Sekali lagi, mereka cuma iri.

Rasa iri tersebut terpendam, dan hanya “meluap” pada momentum-momentum tertentu. Misalnya ajang Miss World.

“Kecemburuan”, itu pangkalnya.

Sama seperti wong-wong cilik yang teriak-teriak anti kapitalisme. Pada dasarnya bukan soal kapitalisme itu baik apa buruk, tetapi kecemburuan sosial pada kaum “pemilik modal”. Andai wong- wong cilik yang menghujat kapitalisme itu kita kasih per-orang 100 juta, niscaya mereka bakalan diam, anteng. Mereka mulai buka usaha dengan modal yang diberikan, dan menjadi kaum “pemilik modal” yang sebelumnya mereka hujat.

Pada wong-wong cilik, mereka tidak anti terhadap kepemilikan modal. Mereka cuma tidak mampu menjadi pemilik modal. Pada muslim konservatif, mereka tidak anti terhadap tubuh perempuan. Mereka hanya tidak bisa melihat dan berhubungan dengan perempuan dengan bebas dan wajar, karena faktor larangan agama yang mereka yakini.

Kalau pada wong-wong cilik tersebut merupakan “kecemburuan sosial”, maka pada muslim konservatif adalah “kecemburuan nilai”.

Sementara kelompok muslim yang agak moderat, mampu mensintesakan antara modernitas dengan dogma agama. Maka, muncullah, sebagai contoh saja, aneka “jilbab gaul” yang modis dan menarik. Atas jilbab, bawah jeans ketat. Dengan wangi parfum, make-up dan aksesoris cantik, mereka bersosialisasi secara normal.

Saya tidak memandang sintesa tersebut secara positif. Saya justru memandangnya secara sinis. Fenomena “jilbab gaul” yang beraneka warna dan trendy, itu seperti anda memasang kloset duduk tetapi dalam pemakaiannya tetap jongkok.

Anda kepingin menaruh sesuatu yang dianggap modern, tetapi tidak bisa meninggalkan “tradisi lama”. Akhirnya wagu: Klosetnya duduk, beraknya jongkok. Gaul, akrab dengan gadget, aktif di jejaring sosial, mengenakan aksesoris trendy, wangi dan sexy, tapi masih berjilbab yang merupakan nilai-nilai agama yang konservatif.

Kelompok muslim/muslimah yang agak moderat seperti itu, biasanya tidak anti terhadap Miss World. Ini sisi positifnya. Karena mereka telah “melampiaskan” hasrat modernitasnya pada gaya berjilbab mereka, maka tingkat kecemburuannya terhadap modernitas kecil, bahkan tidak ada. []

Heboh di Lenteng Agung: Lurah Non-Muslim, Warga Menolak

Susan Jasmine Zulkifli, lurah Lenteng Agung. Foto: The Jakarta Post.

Susan Jasmine Zulkifli, lurah Lenteng Agung. Foto: The Jakarta Post.

Author: Rinaldi

SUSAN JASMINE ZULKIFLI adalah lurah baru Lenteng Agung yang lolos dalam lelang terbuka pemilihan lurah beberapa waktu lalu. Tidak berapa lama setelah menjabat, lurah baru tersebut diprotes warga Lenteng Agung yang mayoritas Muslim hanya karena beragama Kristen.

Penolakan ini khas masyarakat dengan budaya terkebelakang yang masih kental unsur-unsur primordialismenya. Tidak hanya lurah, masyarakat tipe demikian biasanya juga alergi terhadap pendirian tempat ibadah minoritas di sekitar lingkungan mereka.

Biasanya, Muslim yang “sepemahaman” dengan Muslim warga Lenteng Agung itu akan melakukan pembelaan diri untuk membenarkan pandangannya: “Di daerah yang mayoritas non-Muslim, orang Islam juga susah jadi lurah, camat, bupati atau gubernur”.

Pembelaan diri semacam itu kekanak-kanakan. Dalam pandangan saya, jika ada kasus Muslim yang ditolak jadi lurah, camat, bupati atau gubernur di wilayah non-Muslim hanya karena dia Muslim, sama saja kasusnya dengan kasus Lenteng Agung tersebut. Masyarakat yang menolaknya adalah tipe masyarakat primordialistik dan terkebelakang.

Saya amati, “logika” primordialisme itu kurang lebih begini: Di wilayah mayoritas A, lurahnya mesti dari kalangan A. Di wilayah mayoritas B, gubernurnya harus dari kalangan B. Begitu seterusnya. Ini jelas cara pikir yang sudah out-of-date, tidak kompatibel dengan zaman modern yang majemuk, yang menuntut efektifitas, berorientasi fungsi dan profesionalitas. Cara pikir seperti itu tidak bisa diterapkan dalam kehidupan bernegara dan berbisnis.

Singkat saja: Sebenarnya, apa sih substansi keberatan terhadap lurah non-Muslim? Saya kira tidak ada lain kecuali sekedar faktor kebencian dan praduga negatif terhadap “umat agama lain” saja. Kebencian dan praduga negatif ini seringkali dikompori oleh baik ajaran agama maupun pemuka agama yang bersangkutan.

Agama yang dianut seseorang itu tidak ada korelasinya dengan profesionalisme orang tersebut. Jika saya mau order jahit baju, apa saya mesti pergi ke tukang jahit yang seiman? Kan tidak perlu. Asal tukang jahit itu dikenal bagus, rapi dan harganya cocok, ya bisa order jahit di situ. Begitu juga lurah. Sejauh seorang lurah memahami deskripsi kerjanya dan mampu berlaku profesional, itulah lurah. Apakah yang bersangkutan beragama Islam, Kristen, Hindu, bahkan ateis sekalipun, tidak ada hubungannya. []

Acuan berita: PortalKBR

Antara “Setan Gundul” dan “Sapi Berjanggut”

Ciri umat yang mudah tersinggung, tapi suka menyinggung. Grafis: Oleh saya sendiri.

Ciri umat yang mudah tersinggung, tapi suka menyinggung. Grafis: Oleh saya sendiri.

Author Rinaldi

SAYA kira banyak dari kita telah mendengar media Islam yang cukup sering disebut di dunia maya, Arrahmah.com. Lama saya mencermati media Islam tersebut, dan akhirnya pun cukup paham “cara pikir” mereka.

Tak lain, Arrahmah.com adalah media propaganda Islam garis keras. Fakta-fakta yang disampaikan sangat bias, sepihak dan tidak proporsional. Arrahmah.com tidak pernah saya jadikan referensi berita secara serius, namun sering saya ‘pantau’ untuk sekedar tahu bagaimana alur pikir para fanatik Islam.

Tapi lepas dari soal itu, baru-baru ini saya tertawa geli membaca berita Arrahmah.com, karena judulnya lucu: “Setan gundul Budha Myanmar harus diberi pelajaran setimpal”

Tiba-tiba saya jadi ingat protes kader PKS atas tajuk utama Tempo yang menggunakan istilah “sapi berjanggut” untuk menyindir petinggi PKS yang jadi tersangka korupsi impor daging sapi. Istilah tersebut dinilai kurang elegan dan mendiskreditkan umat Islam.

Dua fenomena tersebut adalah ironi yang lucu. Di satu sisi, umat Muslim dengan lantang menggunakan Istilah yang mendiskreditkan umat agama tertentu. Tapi pada sisi lain, umat Muslim memprotes istilah yang mereka pandang mendiskreditkan mereka.

Bahasa penyajian Tempo, walau menggunakan istilah “sapi berjanggut”, masih jauh lebih elegan dibanding bahasa penyajian Arrahmah.com (bukan kali ini saja) yang lebay, provokatif dan berat sebelah. Pernahkah anda, khususnya umat Muslim, berpikir: Kalau umat Muslim merasa tersinggung dengan istilah yang digunakan Tempo, apalagi umat Buddha? []